RSS
Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 07 Desember 2013

PROFIL PARA SUFI


PROFIL PARA SUFI

A.    Pengertian Sufi

Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah swt.Yang sebagaimana seperti berdzikir. Istilah sufi [orang suci] akhirnya dipakai oleh dunia secara luas, bukan saja untuk tokoh agama dari agama tertentu, tetapi bagi seseorang yang secara spiritual dan rohaniah telah matang dan yang kehidupannya tidak lagi membutuhkan dan melekat kepada dunia dan segala isinya, kecuali untuk kebutuhan dasarnya saja. Sufi dalam konteks ini diamalkan sebagai cara sejati untuk memurnikan jiwa dan hati, mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada SorgaNya [menjauhi dunia]. Di agama Budha, dikenal sebagai tahap arupadatu [berbeda dengan kamadatu/kamasutra], di agama Nasrani dikenal sebagai biarawan/ biarawati sebagai cara menjalani kehendak Tuhan secara full/penuh dan memerdekakan diri dari budak kesenangan dunia dst.

A.        Profil Para Sufi yang terkenal

1.      Mansur Al-Hallaj

Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."

Kehidupan miftah farid dan seorang wanita tua

Masa kanak-kanak otenk(miftah farid ppma si raja tidur)

Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.

Masa remaja

Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras semisal puasa dan salat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.

Ibadah haji

Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.

Menjadi guru

Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.

Akulah Kebenaran!' dan hari-hari terakhir

Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

2.       Jalaluddin Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, ia mampu berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.

Karya

Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah :
jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.
3.      Shohibul Faroji
Syekh Sayyid Hafiz Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi (bernama lengkap Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini ibn Muhammad Mishbah ibn Bahruddin Azmatkhan; (bahasa Arab: الشيخ السيد صاحب الفرج عظمت خان باعلوي الحسيني)‎ ; lahir di Banyuwangi 25 Jumadil Akhir 1397 H/ 13 Juni 1977 M) adalah tokoh sufi yang berasal dari Indonesia.

Kelahiran dan silsilah

Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan melalui ayahnya adalah keturunan Sayyid Ja'far Shadiq Sunan Kudus, dan melalui ibunya adalah keturunan Sayyid Abdul Hamid Azmatkhan Pangeran Diponegoro.
Gelar Azmatkhan diberikan  karena ia keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, yaitu seorang sayyid yang lahir di Tarim, Hadramaut, dan kemudian menjadi raja di India. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan adalah leluhur Walisongo.

Masa muda

Dalam usia 7 tahun, Shohibul Faroji belajar dari kakeknya yang mursyid Tarekat Walisongo, yaitu Syekh Bahruddin Azmatkhan. Ia dapat menghafal Al-Qur'an 30 Juz dalam usia 14 tahun. Kemudian ia melanjutkan menghafal Al-Qur'an 30 Juz kepada para guru bersanad yaitu Asy-Syaikh KH. 'Adlan 'Ali Azmatkhan (pendiri Pesantren Walisongo, Cukir, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur) dan Asy-Syaikh KH. Yusuf Masyhar (pendiri Pesantren Madrasatul Qur'an, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur).
Ia juga menghafal kitab hadits Arba'un An-Nawawiyyah dan kitab hadits Riyadus Shalihin di bawah bimbingan Asy-Syaikh Bahruddin Azmatkhan. Selain itu ia juga memperdalam Ushul Fiqih, Fiqih Muqaranah, Ushul Hadits, Kitab-kitab tasawwuf, tafsir Al-Qur'an dan Kitab-Kitab Nasab.

Karya

Syekh Shohibul Faroji juga aktif di PT. Islamic Mint Nusantara, yang salah satu tugasnya adalah sebagai salah satu fakih, qadhi dan mufti IMN dan atas penelitian berat dan kadar dari IMN diperintahkan untuk mengeluarkan sebuah Fatwa penting terkait atas Berat dan Kadar Dinar Islam. PT. Islamic Mint Nusantara adalah sebuah badan umat muslim yang mencetak koin dinar dan dirham di Indonesia, dengan tujuan agar masyarakat menggunakan dinar dirham tersebut sebagai alat tukar, pembayaran zakat dan fungsi muamalah lainnya.
Syekh Shohibul Faroji juga aktif di beberapa organisasi, seperti di Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama pada Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Masyarakat Ekonomi Syari'ah (MES).
Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan telah menulis berbagai karya di bidang tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, dan Tasawuf. Daftar karyanya antara lain:
1.      Panduan Menuju Pencerahan Ruhani
2.      Tafsir Ma'rifatullah,
3.      Tafsir Liqa' Allah.
4.      Tafsir Mahabbatullah, volume 1-114
5.      Tafsir Amar Ma'ruf Nahi Munkar
6.      Tafsir Dinar Dirham Islam
7.      Hadits Dinar Dirham Islam
8.      Fiqih Dinar Dirham Islam
9.      Fiqih Pasar Islam
10.  Fiqih Baitul Mal'
11.  Fiqih Masjid
12.  Fiqih Khilafah Islam

Tarekat dan para guru

Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan adalah Al-Mursyid dari beberapa tarekat sufi.
Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan telah berguru kepada para ulama' dan mursyid yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung kepada keilmuan Nabi Muhammad, di antara para gurunya adalah
1.      Asy-Syaikh As-Sayyid Bahruddin Azmatkhan, guru tarekat, fiqih Syafi'i, tafsir, dan tauhid. Kepada syaikh ini, Syaikh Shohibul Faroji menerima beberapa ijazah sanad kemursyidan dan kepada guru ini pula, ia belajar kitab ansab.
2.      Asy-Syaikh KH. 'Adlan 'Ali Azmatkhan, guru Tahfizhul Qur'an, pendiri Pesantren Walisongo, Cukir, Tebuireng, Jomban). Kepada syaikh ini, Asy-Syaikh Shohibul Faroji menerima ijazah sanad Tahfizhul Qur'an yang bersambung kepada sanad Rasulullah
3.      Asy-Syaikh Yusuf Masyhar, guru Tahfizhul Qur'an, pendiri Pesantren Madrasatul Qur'an, Tebuireng, Jombang). Kepada syaikh ini, Asy-Syaikh Shohibul Faroji menerima ijazah sanad Tahfizhul Qur'an yang bersambung kepada sanad Rasulullah
4.      Asy-Syaikh Marzuki Muslih, guru Nahwu Shorof Balaghah. Kepada syaikh ini, Asy-Syaikh Shohibul Faroji menerima ijazah sanad nahwu-shorof-balaghah.
5.      Prof. KH. Ibrohim Hosen, mantan Ketua Umum MUI. Kepada profesor ini, Syaikh Shohibul Faroji belajar Ushul Fiqih, Qawaidul Fiqhiyyah, dan Fiqih Muqaranah (perbandingan Madzhab), dan mendapatkan sanad keilmuan bidang Ushul fiqih, Qawaidul Fiqhiyyah dan Fiqih Muqaranah
6.      Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Abdus Salam Al-Masyisyi Al-Hasani, ulama besar Libanon.
7.      Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Faidullah bin Musa Al-Hakkari Al-Masyisyi Al-Hasani, ulama besar Libanon.
8.      Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Muhammad Yahya bin Muhammad Al-‘Abid As-Sanusi Al-Hasani, ulama besar Libya.
9.      Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Mahdi bin Mahmud Al-Umry Al-Hasani, ulama besar Marokko.
10.  Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Mustafa bin Abdurrahman Asy-Syarif Al-Hasani, ulama besar Marokko.
11.  Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Muhammad Nur bin Muhammad Ibrahim Al-Kutbi Al-Hasani, ulama besar Haramain.
12.  Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Muthahar bin Jamsid Al-Khayyath Al-Maddah Al-Hasani, ulama besar Iraq.
4.      SYEKH SITI JENAR
Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.

Konsep dan ajaran



Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji. Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu:
·         Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
·         Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu,
·         Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan
·         Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan label sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

 Manunggaling Kawula Gusti

Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia
Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.

Pengertian Zadhab

Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini, sering ditemui manusia yang mengalami zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Allah. Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanyalah Allah. Di sekelilingnya tidak tampak manusia lain, kecuali hanya Allah yang berkehendak.
Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini. Dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada Guru yang Mursyid yang berpedoman pada Al Quran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Karena hamba ini akan gampang terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan menjerumuskannya.

 Hamamayu Hayuning Bawana

Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil 'alamin. Seseorang dianggap muslim salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya, bukannya menciptakan kerusakan di muka bumi.

Kontroversi



Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak.
Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tidak cukup untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan untuk datang menghadap ke Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para Walisongo sendirilah yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Syekh Siti Jenar berada.
Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, dan Ki Pringgoboyo ikut mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.

Kisah pasca kematian



Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak bunga dan cahaya memancar dari jenazahnya. Jenazah Syekh Siti Jenar sendiri selanjutnya dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki, antara lain Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Tingkir.
Kontroversi yang lain adalah bahwa kemungkinan terbesar Syekh Siti Jenar adalah salah satu tokoh Islam yang dengan segala kebijaksanaannya telah dapat mengadaptasi Islam dengan keluhuran ajaran Hindu dan Budha yang menjadi pegangan Bangsa Indonesia sehingga dapat terlihat dengan jelas bagaimana nilai daripada kehidupan dan kesejatian manusia dengan penciptanya yang ada dalam Bhagawad Gita berpadu dengan nilai yang diajarkan Alquran.
Hal ini tentu saja tak berlebihan, karena dengan tingkat kerohanian dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar, ia akan mampu melakukan penghormatan kepada leluhur dan melestarikan nilai kebenaran yang diwariskan, menyerap agama baru dan melakukan penyesuain nilai agar dapat diterima oleh seluruh bangsa sehingga menjadi berkah keluhuran bagi alam semesta. Kalau para wali songo dengan pola gerakan yang lebih kepada keduniawian berusaha mengadopsi konsep Dewata Nawa Sanga di Hindu yang mereka personifikasikan ke dalam Wali Songo untuk mengubah pandangan masyarakat Hindu dan membelokkan kepada Islam pun dalam penggunaan cerita pewayangan Hindu seperti Mahabharata / Brathayudha dan Ramayana untuk membantu penyebaran agama Islam dengan melakukan sisipan sisipan ke dalamnya, namun Syekh Siti Jenar mengadaptasi nilai yang terkandung yang memang sudah ada di masyarakat Hindu dan Budha pada jaman keemasan Nusantara sehingga nilai kombinasi yang diperkenalkannya kepada masyarakat terbukti sangat cocok bahkan hingga saat ini. Terbukti bahwa daerah seperti Jogjakarta adalah salah satu daerah dengan eksistensi budaya yang sangat tinggi dan pranata sosial yang sangat beradab sebagai hasil penerapan konsep Hindu Budha dari para leluhur Bangsa Indonesia dengan nilai Islam sebagai budaya serapan baru.
5.      SYEKH ABDUL QADIR JAELANI
Syekh Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani (bahasa Kurdi: Evdilqadirê Geylanî, bahasa Persia: عبد القادر گیلانی,bahasa Urdu: عبد القادر آملی گیلانی Abdolqāder Gilāni) (juga dilafalkan Abdulqadir Gaylani, Abdelkader, Abdul Qadir, Abdul Khadir - Jilani, Jeelani, Gailani, Gillani, Gilani, Al Gilani, Keilany) (470–561 H) (1077–1166 M) adalah orang Kurdi atau orang Persia ulama sufi yang sangat dihormati oleh ulama Sunni. Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India.Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran.

Kelahiran, Silsilah dan Nasab

Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani):
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dari ibunya(Husaini): Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam

Masa Muda

Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimi. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi....

Murid

Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqih terkenal al Mughni.

Perkataan Ulama tentang Beliau

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu."

Tentang Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri' Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).

Karya

Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."
Karya karyanya  :
1.      Tafsir Al Jilani
2.      al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
3.      Futuhul Ghaib.
4.      Al-Fath ar-Rabbani
5.      Jala' al-Khawathir
6.      Sirr al-Asrar
7.      Asror Al Asror
8.      Malfuzhat
9.      Khamsata "Asyara Maktuban
10.  Ar Rasael
11.  Ad Diwaan
12.  Sholawat wal Aurod
13.  Yawaqitul Hikam
14.  Jalaa al khotir
15.  Amrul muhkam
16.  Usul as Sabaa
17.  Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.

Ajaran-ajaranya

Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi".
Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

Awal Kemasyhuran

Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.

Hubungan Guru & Murid

Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1.      Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2.      Dua karakter dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam yaitu penyayang dan lembut.
3.      Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4.      Dua karakter dari Umar yaitu amar ma'ruf nahi munkar.
5.      Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6.      Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat zhahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut".
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. `
6. ABU NAWAS
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas merupakan seorang pujangga Arab dan dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana,
Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

1.      SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILI
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili (bahasa Arab: أبو الحسن الشاذلي‎) (lahir Ghumarah, Maroko, 1197 - wafat Humaitsara, Mesir, 1258) adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia. Ia dipercayai oleh para pengikutnya sebagai salah seorang keturunan Nabi Muhammad, yang lahir di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghreb (sekarang termasuk wilayah Maroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M.

Biografi

Namanya lengkapnya adalah Abul Hasan Asy-Syadzili Al-Hasani.[1] Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah pendiri Tarekat Syadziliyah. Nasab atau garis keturunan Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah SAW.
Berikut ini nasab Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan, bin Abdullah Abdul Jabbar, bin Tamim, bin Hurmuz, bin Hatim, bin Qushay, bin Yusuf, bin Yusya', bin Ward, bin Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa, bin Muhammad, bin Hasan, bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW
Sebagian besar sumber yang berbicara tentang sejarah Asy-Syadzili sepakat bahwa dia lahir di negeri Maghreb pada tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah (sekarang kota Ceuta, eksklave Spanyol di Afrika Utara). Dia tumbuh di desa ini. Dia menghapal Al-Quran Al-Karim dan mulai mempelajari ilmu syariat. Kemudian dia pergi ke kota Tunis ketika masih sangat muda. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Syadzilah. Oleh karena itu, dia dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun dia tidak berasal dari sana, sebagaimana dikatakan oleh penulis al-Qamus. Ada juga yang mengatakan bahwa dia dinisbatkan kepada desa tersebut karena dia tekun beribadah di sana.[1]

Ciri-ciri pribadi

Asy-Syadzili berkulit sawo matang, berbadan kurus, perawakannya tinggi, pipinya tipis, jari-jari kedua tangannya panjang, dan lidahnya fasih serta perkataannya baik.[1] Dia tidak terlalu membatasi diri dalam makan dan minum. Dia selalu mengenakan pakaian yang indah setiap kali memasuki masjid. Dia tidak pernah terlihat memakai baju-baju bertambalan sebagaimana yang dipakai oleh sebagian sufi, bahkan selalu mengenakan pakaian bagus. Dia menyukai kuda, memelihara, dan menungganginya. Dia selalu menasihatkan untuk bersikap moderat.
C.PROFIL TOKOH SUFI YANG TERKENAL PADA ABADNYA

 Tokoh-tokoh para sufi terkemukaabad kesatu dan kedua Hijriyah
1.      Hasan al-Basri
Nama lengkapnya al-Hasan bin Abu Sa’id. Dia dilahirkan di madinah pada tahun 21 H, dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H. Ia adalah putra Zaid bin sabit seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basrah, ia sempat bertemu dengan sahabat-sahabat nabi termasuk tujupuluh di antaranya adalah yang turut serta dalam perang Badr. Kemudian ibunya adalah hamba sahaya Ummu Salamah, istri Nabi. Ia tumbuh dalam lingkunagan orang saleh yang mendalam pengetahuan agamanya. Ia menerima hadis dari sejumlah ahabat dan diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib mengagumi akan kehebatan ilmunya. ( Asmaran As : 2002, hal265-266 )
2.      Ibrahim Bin Adham
Namanya adalah Abu Ishaq bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga bangsawan arab. Dalam legenda sufi ia dikatakan sebagai seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya, lalu mengembara kea rah Barat untuk menjalani hidup sebagaui seotang petapa sambil mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negeri Persia kira-kira pada tahun 160 H/777 M. Beberapa sumber mengatakan bahwa ibrahim terbunuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium Ibrahim bin Adham adalah seorang zahid di khurasan yang sangat menonjol di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan Balkh, menurut Nicholson dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang dibawahinnya. Dia lebih suka memakai baju yang kasar dan mengarahkan pandangannya di negeri Syiria. Hal ini kulakukan dengan harapan aku bias memelihara kehidupan beragamaku dari godaan setan dan menjaga keimananku sehingga selamat sampai ke pintu gerbang kematian( Asmaran As : 2002, hal269-270 )
3.    Sufyan al-Sauri
Namanya adalah Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id Bin Masruq al-Sauri al-    Kufi. Dia dilahirkan di Kufah pada tahun 97 H/715 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 161 H/778 M. Dia adalah seorang tabi’in pilihan dan seorang zahid yang jarang ada tandingannya bahkan merupakn seorang ulama hadis yang terkenal sehingga dalam merawinkan hadis, dia dijuluki amir al-mu’minin dalam hal hadis. Dan dia adalah salah seorang dari ulama mujtahidin yang mempunyai mashab sendiri. Menurut riwayat Abu al-Qasim al-Junaid mengikuti mashab beliau. Dan mashabnya bias bertahan selama 2 abad. Sufyan al-Sauri termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut dibunuh dalam mengemukakan kritik terhadap pengusaha, beliau sanagt mencela kehidupan para pengusaha yang bergelimang dalam kemewahan, hidup berfoya-foya dengan kekayaan Negara yang diperoleh dari hasil ekspansi dan kemajuan islam, sementara masih banyak rakyat yang hidup dalam kemelaratan. Beliau dengan lantang memberi nasihat kepada umat islam agar jangan mengikuti perkehidupan mereka yang telah rusak moralnya itu. ( Asmaran As : 2002, hal273-274 )
4.      Rabi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit dan sebagaimana hanya bercorak mitos. Dia lahir I Basrah pada tahun 96 H/ 13 M. Lalu hidup sebagai hamba sahaya keluarga atik. Dia berasal dari keluarga miskin dan dari kecil dia tinggal di kota kelahirannya.Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang saleh semasanya.Menurut sebuah riwayat ia meninggal pada tahun 185 H/801 M. Orang orang mengatakan bahwa dia di kuburkan di dkat kota jerussalem Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah ini mewujudkan bahwa di cinta kepada allah SWT. Tetapi dia tidak hanya berbicara tentang cinta ilahi, namun juga menguraikan ajaran-ajaran tasawuf yang lain. ( Asmaran As : 2002, hal274-278 )
Tokoh-tokoh sufi terkemuka abad III dan IV Hijriah
1.      Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Mahfuz Ma’aruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di bagdad. Ia meninggal di kota ini juga pada tahun 200 H/815 M. Ia dikenal sebagai sufi yang selalu di liputi rasa rindu kepada Allah SWT sehinnga ia di golongkan ke dalam kelompok auliya. Dia di pandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah pertama yang mengembangkan tasawuf dari pada cinta yang di bawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengatakan bahwa timbulnya rasa cinta kepada allah itu bukan karena diusahakan melalui belajar, tetapi datangnya semata-mata karena karunia Allah. ( Asmaran As : 2002, hal279-280 )
2.      Abu al-Hasan Surri al-Saqti
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Surri al-Muglisi al-Saqti. Dia adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman al-Junaidi dan merupakan seorang tokoh sufi terkemuka di Bagdad, serta pernah mendapat tantangan dari Ahmad bin Hanbal. Dia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang berkas dan meninggal pada tahun 253H/867 M dalam usia 98 tahun. Dalam sejarah sufi ai dikenal sebagai pelopor dalam membahas soal tauhid dan merupakan orang yang paling wara pada masanya. Disamping itu ia pun seorang imam masjid Bagdad. Dalam sejarahnya perkembangan tasawuf, Surri al-Saqti dipandang sebagai salah seorang pendiri sebuah aliran tasawuf Bagdad ini ke berbagai kawasan dunia islam, misalnya Musa al-Ansari yang menyebarluaskanya ke Khurasan; Abu Ali al-Ruzbari (322 H di fustat ) yang menyebarluaskannya ke Mesir dan Abu Yazid al-Adami (341 H ) yang menyebarluaskan ke jazirah arab. ( Asmaran As : 2002, hal280-283 )
3.      Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialag Abu Sulaiman Abdurrahman bin Utbah al-Darani. Ia lahir di Dran sebuah kampong di kawasan Damaskus; dan meninggal pada tahun 215 H/830 M. Ia adalah murid Ma’ruf dan merupakan tokoh sufi terkemuka, seorang arif dan hidupnya sangat wara. Hidup kerohaniannya penuh diliputi dengan kebersihan jiwa dan kesucian pribadi. Pandangannya dalam tasawuf mengandung makna dan ibrad yang menjadi panutan bagi penganut ajaran tasawuf selanjutnya. Dalam sejarahnya al-Darani di kenal sebagai salah seorang sufi yang banyak membahas tentang ma’rifah dan hakikah. Dalam kaitan ini ai berkaitan dengan syariah. Hal ini dia tegaskan dalam ucapannya selama beberapa waktu aku terima persoalan ini sementara aku tidak bias menerimanya kecuali disertaidua saksi yaitu al-quran dan al-sunnah. ( Asmaran As : 2002, hal283-284 )
4.      Haris al-Muhasibi
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Ia lahir di Basrah tahun 165 H/781 M. Selagi masih kecil dia pindah ke bagdad di sana dia kemudian belajar hadis dan teologi, bergaul rapat dengan tokoh-tokoh terkemuka dan menyaksikan perietiwa penting pada masa itu. Ia meninggal pada 243 H/851 M. Ajaran-ajaran dan tulisan memberikan pengaruh yang kuat dan luas kepada ahli-ahli sufi sesudahnya khususnya kepada Abu Hamid al-Gazali. Dia adlah seorang ulama yang termashur dalam ilmu usul dan ilmu akhlaq disamping dia juga seorang guru yang kenamaan di kota Bagdad. Dai digelari al-Muhasibi karena suka mengadakan intropeksi. Seperti sudah disinggung diatas dai mengarang berbagai kitab tasawuf. Sebagian besar lainnya memuat analisis kehidupan rohaniahhal inilah yang menjadi inti yang menjadi pokok tujuan kitabnya Al-Ri’ayah merupakan karya orang islam yang terindah tentang kehidupan esoteric dalam islam. ( Asmaran As : 2002, hal284-285 )
5.      Zu al-Nun al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid Saubun bin Ibrahim Zu al-Nun al-Misri. Dia lahir di Ekhimim yang terletak di kawasan mesir hulu pada tahun 155 H/770 M. Banyak guru-guru yang telah di datanginya dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya baik di negeri arab maupun Syira. Pada tahun 214 H/829 M. Menurut biografi-biografi pada sufi, dia adalah salah seorang yang pada masanya terkenal keluasan ilmunya, kerendahan hatinya dan budi pekertinya yang baik. Dalam tasawuf posisinya dipandang penting karena dia itulah yang pertama di mesir yang memperbincangkan masalah ahwal dan maqamat para wali. Dlam tasawuf Zu al-Nun al_misri dipandang sebagai bapak paham ma’rifah. ( Asmaran As : 2002, hal287-288 )
6.      Abu Yazid al-Bustabi
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, Bagian timur laut Persia. Ia meninggal di Bustam pula pada 261 H/875 M. Dan makamnya masih ada hingga saat ini. Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang bebeda dengan ajaran-ajaran tasawuf lsebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak tentang oleh ulama fiqh dan kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Memang dalam perkembangannya tasawuf ia sebagai pembawa paham al-fana dan al-baqa serta sekaligus pencetus paham al-ittihad. Ia adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada tahun III Hijriyah dan berpendapat bahwa tasawuf yang dikemukakan seiring dengan kedua sumber ajaran islam. ( Asmaran As : 2002, hal295-296)
7.  Junaid al-Bagdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Nihawandi. Dia adalah putera seorang pedagang barang pecah belah dan keponakan surri al-Saqti serta teman akrab haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Bagdad pada tahun 297 H/910 M. Termasuk seorang sufi yang luar biasa teguh dalam menjalankan syariat agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih sering memberi fatwa sesuai mashab yang dianutnya, mashab Abu Sauri: serta teman akrab Imam al-Syafi’I ( Asmaran As : 2002, hal303-304)
8.   Al Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mugis Al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Ia adalah seorang alim dalam ilmu agama islam. Sebagai mana dikatakan oleh Ibn Suraij ia adalah seorang yang hafal al-quran dan sarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fiqih dan adis serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf dan di juga seorang zahid yang terkenal pada masanya dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikaannya mampu melahirkan karya-karya gemilang tentang tasawuf. ( Asmaran As : 2002, hal310-311 )
 9. Abu Bakr al-Syili
 Nama lengkapnya Abu Bakr Dulaf bin Jahdaral-Syibli keluarganya berasal dari Khurasan, tetapi dia sendiri dilahirkan di Bagdad. Ia meninggal pada tahun 334 H/946 M. Dalam usia 87 Tahun. Ia adalah seorang yang tidak pernah mengeluh menghadapi kehidupan dia hidup penuh kegembiraan. Bagaimana sikapseseorang dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, dia berujar Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya. Tasawufnya aialah duduk bersama allah tanpa ada rasa duka ( Asmaran As : 2002, hal324 )
 Tokoh-tokoh sufi terkemuka abad kelima hijriyah
1.      Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah Abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi ia dilahirkan pada tahun 376 H di Istiwa. Ia adalah seorang tokoh terkemuka pada abd kelima Hijriyah, yang cenderung mengadakan pembaharuan yakni dengan mengembalikan tasawuf ke landasan al-quran dan al-sunnah yang merupakan cirri utama dari ajaran tasawuf sunni. Dapat di katakan ia terkenal karena ia menulis sebuah risalah tentang tasawuf yang diberi nama Al-Risalah al-Qusyairiyah.Sufi di berbagai Negara islam dalam tahun 473 H.( Asmaran As : 2002, hal326 )
2.      Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Dia lahir tahun 396 H di herat ia adalah seorang faqih dari mashab Hambali dan karya-karyanya di bidang tasawuf di pandang amat bermutu. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima hijrah dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan penbaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang aneh. Karyanya yang terkenal adalah Manazil al-Sa’arin ila Rabb Al-alamin( Asmaran As : 2002, hal328 )
3.      Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Tusi al-Syafi dan lebih dikenal dengan nama al-gazali. Dia di lahirkan pada tahun 450 H/1058 M. Ia mengkaji aliran-aliran para teolog, filosof dan batiniah sebagaimana diutarakannya di dalam kitabnya Al-Munqiz memilih jalan tasawuf. ( Asmaran As : 2002, hal330 )

Tokoh-tokoh sufi terkemuka abad keenam hijriyah dan seterusnya
1.      Al-Suhrawardi al-Maqtul
Nama lengkapnya adalah Abu al-Futuh yahya bin Habsy bin Amrak di kenal sebagai al-Hakim. Ia dilahirkan di Suhrawad sekityar tahun 549 Hijriyah dan terbunuh di Halb tahun 587 H. Ia meninggalkan sejumlah karya antara lain adalah Hikmah Al-Isyraq, Al-Talwihat, Hayakil Al-Nur, al-Muqawimat, Al-Mutaribat, Al-Alwah, Al-Imadiyah den sebagain doa-doa ( Asmaran As : 2002, hal344 )
2.      Muhyiddin ibn’Arabi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Muhyiddin al-Hatimi al-Hatimi al-Ta’I al-Andalusi. Di andalusi ( Barat ) dia dikenal dengan nama Ibn’Arabi, tanpa alif-lam. Disamping itu dia biasa disebut dengan al-Qutb, al-Gaus,al-Syaikh atau Al-Kibrit al-Ahmar. Dia lahir pada tanggal 17 Ramadan 560 H/1163 M di Merica dan meninggal pada tanggal 28 Rabiul akhit 638 H/1240 M. ( Asmaran As : 2002, hal347 )
3.      Abd al-Karim al-Jili
Nama lengkapnya Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili. Dia dilahirkan di al-Jili, suatu tempat di kawasan bagdad pada tahun 767 H/1365 M. dan meninggal pada tahun 805 H/1403 M. Kitab al-jili yang paling terkenal yang menggambarkan ajaran tasawufya tentang konsep al-Insan al-Kamil. Kendati al-Jili membawa konsep kesatuan wujud dan tetap konsisten terhadap ajarannya namun dalam syariatnya ia tetap menjalankankewajiban ibadah seperti salat, puasa dan zakat menurutnya semakin tinggi derajad manusia semakin banyak ibadah yang mesti di lakukannya. ( Asmaran As : 2002, hal356-357 )


4.      Ibn al-Farid
Nama lengkapnya adalah Syarifuddin Umar Abu al-Hasan Ali yang lebih di kenal dengan Ibn al-Farid. Dia adalah seorang penyair sifi cinta ilahi yang dilahirkan di Cairo pada tahun 576 H yaitu setelah kepindahannya ayahnya di hammah dan ia meninggal di tempat kelahirannya pada tahun 632 ah/1233 M. Sebagai orang sufi cinta ilahi yang paling menonjol dalam sejarah islam Ibn al-Farid telah mendedikasikan seluruh hidupnyauntuk cinta tersebut sebagai hidupnya untuk cinta tersebut sebagai poros utama puisi-puisinya dalam diwan yang ditinggalkannya.karena itu ia dikenal gelar Sultan al-Asyiqin yang sekaligus menjadi nama karyanya ( Asmaran As : 2002, hal364)

0 komentar:

Posting Komentar