PROFIL PARA SUFI
A. Pengertian Sufi
Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah
swt.Yang sebagaimana seperti berdzikir. Istilah sufi [orang suci] akhirnya
dipakai oleh dunia secara luas, bukan saja untuk tokoh agama dari agama
tertentu, tetapi bagi seseorang yang secara spiritual dan rohaniah telah matang
dan yang kehidupannya tidak lagi membutuhkan dan melekat kepada dunia dan
segala isinya, kecuali untuk kebutuhan dasarnya saja. Sufi dalam konteks ini
diamalkan sebagai cara sejati untuk memurnikan jiwa dan hati, mendekatkan diri
kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada SorgaNya [menjauhi dunia]. Di agama
Budha, dikenal sebagai tahap arupadatu [berbeda dengan kamadatu/kamasutra], di
agama Nasrani dikenal sebagai biarawan/ biarawati sebagai cara menjalani
kehendak Tuhan secara full/penuh dan memerdekakan diri dari budak kesenangan
dunia dst.
A. Profil Para Sufi yang terkenal
1. Mansur Al-Hallaj
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah
salah seorang ulama sufi yang
dilahirkan di kota Thur yang
bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada
tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata:
"Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara
brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian
ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu
dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu
nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri.
Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena
mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap
pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj
tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi
atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan
segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak
pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi
sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam
karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar
al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita
bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah
dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini
bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan
al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran'
adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal
dari Fir'aun adalah kezaliman."
Kehidupan miftah farid dan seorang wanita tua
Masa kanak-kanak otenk(miftah farid ppma si raja tidur)
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur
yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan
keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya
adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak,
ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir
dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota
dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang
sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas
bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai
kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas
tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Masa remaja
Di usia sangat muda, ia mulai
mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan
kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang
pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari,
seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh
hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual
tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat
tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras semisal puasa dan salat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj
pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj
tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang
secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi
paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas
bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan
untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali
selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan
al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap
hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj
melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya
menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar
sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan
membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi,
dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya
adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan
sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh
Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika
al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik
sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah
mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama
sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri
dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan
meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa
melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di
Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin
memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi
bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar
dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi
selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat
mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya
ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali
lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari
berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai
terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam
karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi
mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta
dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj
al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj
adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang
penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak
lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh
sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah
haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah
melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan
bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat
dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk
mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan
kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan
semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah
pengikutnya makin bertambah.
Akulah Kebenaran!' dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi
karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga
kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir
dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia
merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang
menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat
inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq)
dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan
hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan
kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar,
dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin,
bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah
menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal
memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk
ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj
berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah
aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru
mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan
masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di
kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut
adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya
banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana
khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan
pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan
pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj
berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa.
Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir
sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap
sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di
Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut.
Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan
istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di
atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia
dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan
orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya
dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu.
Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya
kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
2. Jalaluddin Rumi
Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad
bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin
Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan
Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, ia mampu berpandangan ke
depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena
adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan.
Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli
matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan
si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah
Ketuhanan.
Karya
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal
bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya
juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas,
mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri
khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya
Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta,
bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan
bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang
menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi
Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan
menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi
naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam
satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran
makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud
kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh
semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang
mencapai ma'rifat. Dan memang
tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal
adalah :
jangan tanya apa agamaku. aku bukan
yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu suatu nama
kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di
hatiku.
3.
Shohibul
Faroji
Syekh Sayyid Hafiz
Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi (bernama lengkap Shohibul
Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini ibn Muhammad Mishbah ibn Bahruddin
Azmatkhan; (bahasa Arab: الشيخ السيد صاحب
الفرج عظمت خان باعلوي الحسيني) ;
lahir di Banyuwangi 25 Jumadil Akhir 1397 H/ 13 Juni 1977 M) adalah tokoh sufi yang berasal dari Indonesia.
Kelahiran dan silsilah
Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan melalui ayahnya adalah
keturunan Sayyid Ja'far Shadiq Sunan Kudus,
dan melalui ibunya adalah keturunan Sayyid Abdul Hamid Azmatkhan Pangeran Diponegoro.
Gelar Azmatkhan diberikan
karena ia keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, yaitu seorang sayyid yang lahir
di Tarim, Hadramaut,
dan kemudian menjadi raja di India. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan adalah leluhur Walisongo.
Masa muda
Dalam usia 7 tahun, Shohibul Faroji belajar dari
kakeknya yang mursyid Tarekat Walisongo, yaitu Syekh Bahruddin Azmatkhan. Ia
dapat menghafal Al-Qur'an 30 Juz dalam usia 14 tahun. Kemudian ia melanjutkan
menghafal Al-Qur'an 30 Juz kepada para guru bersanad yaitu Asy-Syaikh KH.
'Adlan 'Ali Azmatkhan (pendiri Pesantren Walisongo, Cukir, Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur) dan Asy-Syaikh KH. Yusuf Masyhar (pendiri Pesantren Madrasatul
Qur'an, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur).
Ia juga menghafal kitab hadits Arba'un An-Nawawiyyah
dan kitab hadits Riyadus Shalihin di bawah bimbingan Asy-Syaikh
Bahruddin Azmatkhan. Selain itu ia juga memperdalam Ushul Fiqih, Fiqih
Muqaranah, Ushul Hadits, Kitab-kitab tasawwuf, tafsir Al-Qur'an dan Kitab-Kitab
Nasab.
Karya
Syekh Shohibul Faroji juga aktif di PT. Islamic Mint
Nusantara, yang salah satu tugasnya adalah sebagai salah satu fakih, qadhi dan
mufti IMN dan atas penelitian berat dan kadar dari IMN diperintahkan untuk
mengeluarkan sebuah Fatwa penting terkait atas Berat dan Kadar Dinar Islam. PT.
Islamic Mint Nusantara adalah sebuah badan umat muslim yang mencetak koin dinar dan dirham di
Indonesia, dengan tujuan agar masyarakat menggunakan dinar dirham tersebut
sebagai alat tukar, pembayaran zakat dan fungsi muamalah lainnya.
Syekh Shohibul Faroji juga aktif di beberapa organisasi,
seperti di Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama pada Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul
Ulama, dan Masyarakat Ekonomi Syari'ah (MES).
Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan telah menulis berbagai
karya di bidang tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, dan Tasawuf. Daftar
karyanya antara lain:
1. Panduan Menuju Pencerahan Ruhani
2. Tafsir Ma'rifatullah,
3. Tafsir Liqa' Allah.
4. Tafsir Mahabbatullah, volume 1-114
5. Tafsir Amar Ma'ruf Nahi Munkar
6. Tafsir Dinar Dirham Islam
7. Hadits Dinar Dirham Islam
8. Fiqih Dinar Dirham Islam
9. Fiqih Pasar Islam
10. Fiqih Baitul Mal'
11. Fiqih Masjid
12. Fiqih Khilafah Islam
Tarekat dan para guru
Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan adalah Al-Mursyid
dari beberapa tarekat sufi.
Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan telah berguru kepada
para ulama' dan mursyid yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung kepada
keilmuan Nabi Muhammad, di antara para gurunya adalah
1. Asy-Syaikh As-Sayyid Bahruddin
Azmatkhan, guru tarekat, fiqih Syafi'i, tafsir, dan tauhid. Kepada syaikh ini,
Syaikh Shohibul Faroji menerima beberapa ijazah sanad kemursyidan dan kepada
guru ini pula, ia belajar kitab ansab.
2. Asy-Syaikh KH. 'Adlan 'Ali Azmatkhan,
guru Tahfizhul Qur'an, pendiri Pesantren Walisongo, Cukir, Tebuireng, Jomban).
Kepada syaikh ini, Asy-Syaikh Shohibul Faroji menerima ijazah sanad Tahfizhul
Qur'an yang bersambung kepada sanad Rasulullah
3. Asy-Syaikh Yusuf Masyhar, guru Tahfizhul
Qur'an, pendiri Pesantren Madrasatul Qur'an, Tebuireng, Jombang). Kepada syaikh
ini, Asy-Syaikh Shohibul Faroji menerima ijazah sanad Tahfizhul Qur'an yang
bersambung kepada sanad Rasulullah
4. Asy-Syaikh Marzuki Muslih, guru Nahwu
Shorof Balaghah. Kepada syaikh ini, Asy-Syaikh Shohibul Faroji menerima ijazah
sanad nahwu-shorof-balaghah.
5. Prof. KH. Ibrohim Hosen, mantan Ketua
Umum MUI. Kepada profesor ini, Syaikh Shohibul Faroji belajar Ushul Fiqih,
Qawaidul Fiqhiyyah, dan Fiqih Muqaranah (perbandingan Madzhab), dan mendapatkan
sanad keilmuan bidang Ushul fiqih, Qawaidul Fiqhiyyah dan Fiqih Muqaranah
6. Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Abdus
Salam Al-Masyisyi Al-Hasani, ulama besar Libanon.
7. Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Faidullah
bin Musa Al-Hakkari Al-Masyisyi Al-Hasani, ulama besar Libanon.
8. Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Muhammad
Yahya bin Muhammad Al-‘Abid As-Sanusi Al-Hasani, ulama besar Libya.
9. Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Mahdi
bin Mahmud Al-Umry Al-Hasani, ulama besar Marokko.
10. Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Mustafa
bin Abdurrahman Asy-Syarif Al-Hasani, ulama besar Marokko.
11. Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Muhammad
Nur bin Muhammad Ibrahim Al-Kutbi Al-Hasani, ulama besar Haramain.
12. Asy-Syaikh Asy-Syarif As-Sayyid Muthahar
bin Jamsid Al-Khayyath Al-Maddah Al-Hasani, ulama besar Iraq.
4.
SYEKH
SITI JENAR
Syekh Siti Jenar (juga
dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang,
dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang
penyebar agama Islam di Pulau Jawa.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat
banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal,
yaitu Manunggaling
Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh
Siti Jenar adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu
sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran
yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi
yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo.
Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada
penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Konsep dan ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial
terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat
tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini
disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian,
justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini
tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara,
tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan
oleh syariah.
Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia
di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam
yang lima, yaitu syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji. Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia
menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam
dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para
ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj
(tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam,
kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan
dengan kesamaan sifat Tuhan
dan manusia.
Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati
empat tahap, yaitu:
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan
tersebut, maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang
bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang
disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun
setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya
kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar
kepada masyarakat awam di mana pada masa itu, ajaran Islam yang harus
disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh
Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah.
Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar hanya dapat
dibendung dengan label sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila
harus memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa pun, setiap
pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing-masing menyembah dengan
menyebut nama yang berbeda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu
sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat
untuk mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat
lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa
Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling
Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya,
melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti
bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh
Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia
“
|
Ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S.
Shaad: 71-72
|
”
|
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh
Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat
Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di
dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling
Kawula Gusti.
Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini, sering
ditemui manusia yang mengalami zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap
Allah. Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja sehingga ketika
keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam
pikirannya hanyalah Allah. Di sekelilingnya tidak tampak manusia lain, kecuali
hanya Allah yang berkehendak.
Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini.
Dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada Guru yang Mursyid
yang berpedoman pada Al Quran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah
ditetapkan Allah untuk manusia. Karena hamba ini akan gampang terpengaruh
syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan
menjerumuskannya.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan
pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil 'alamin. Seseorang dianggap muslim salah
satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya, bukannya
menciptakan kerusakan di muka bumi.
Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal
kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat
gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan
Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu
murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah
keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah,
dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan
Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan
kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu
tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan
Demak.
Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran
Bayat ternyata tidak cukup untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan
untuk datang menghadap ke Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para Walisongo
sendirilah yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana
perguruan Syekh Siti Jenar berada.
Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan
hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka,
berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa.
Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus,
dan Sunan
Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu
antara kelima wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar,
kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa
meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan
yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti
Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya,
serentak keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, dan Ki Pringgoboyo ikut
mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang
dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
Kisah pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah
Syekh Siti Jenar disemayamkan di Masjid
Demak, menjelang salat
Isya, semerbak bunga
dan cahaya
memancar dari jenazahnya. Jenazah Syekh Siti Jenar sendiri selanjutnya
dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia
dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama
lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak
muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki,
antara lain Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Tingkir.
Kontroversi yang lain adalah bahwa kemungkinan terbesar
Syekh Siti Jenar adalah salah satu tokoh Islam yang dengan segala
kebijaksanaannya telah dapat mengadaptasi Islam dengan keluhuran ajaran Hindu dan Budha yang menjadi
pegangan Bangsa Indonesia sehingga dapat terlihat dengan jelas bagaimana nilai
daripada kehidupan dan kesejatian manusia dengan penciptanya yang ada dalam
Bhagawad Gita berpadu dengan nilai yang diajarkan Alquran.
Hal ini tentu saja tak berlebihan, karena dengan tingkat
kerohanian dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar, ia akan mampu
melakukan penghormatan kepada leluhur dan melestarikan nilai kebenaran yang
diwariskan, menyerap agama baru dan melakukan penyesuain nilai agar dapat
diterima oleh seluruh bangsa sehingga menjadi berkah keluhuran bagi alam
semesta. Kalau para wali songo dengan pola gerakan yang lebih kepada
keduniawian berusaha mengadopsi konsep Dewata Nawa Sanga di Hindu yang mereka
personifikasikan ke dalam Wali Songo untuk mengubah pandangan masyarakat Hindu
dan membelokkan kepada Islam pun dalam penggunaan cerita pewayangan Hindu
seperti Mahabharata
/ Brathayudha dan Ramayana untuk membantu penyebaran agama Islam dengan
melakukan sisipan sisipan ke dalamnya, namun Syekh Siti Jenar mengadaptasi
nilai yang terkandung yang memang sudah ada di masyarakat Hindu dan Budha pada
jaman keemasan Nusantara sehingga nilai kombinasi yang diperkenalkannya kepada
masyarakat terbukti sangat cocok bahkan hingga saat ini. Terbukti bahwa daerah
seperti Jogjakarta adalah salah satu daerah dengan eksistensi budaya yang
sangat tinggi dan pranata sosial yang sangat beradab sebagai hasil penerapan
konsep Hindu Budha dari para leluhur Bangsa Indonesia dengan nilai Islam
sebagai budaya serapan baru.
5.
SYEKH
ABDUL QADIR JAELANI
Syekh Abdul Qadir Jaelani
atau Abd al-Qadir al-Gilani (bahasa
Kurdi: Evdilqadirê Geylanî, bahasa
Persia: عبد
القادر گیلانی,bahasa Urdu:
عبد القادر آملی
گیلانی Abdolqāder
Gilāni) (juga dilafalkan Abdulqadir Gaylani,
Abdelkader, Abdul Qadir, Abdul Khadir - Jilani, Jeelani, Gailani, Gillani,
Gilani, Al Gilani, Keilany) (470–561 H) (1077–1166 M) adalah orang Kurdi
atau orang
Persia ulama sufi yang sangat dihormati oleh ulama Sunni.
Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum
Muslim dari anak benua India.Di antara pengikut di Pakistan
dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam. Ia lahir pada hari Rabu
tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M selatan Laut Kaspia
yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran.
Kelahiran, Silsilah dan Nasab
Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran
al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu
bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat
kedua lebih dipercaya oleh ulama. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah
Sayyid Ali al-Murtadha r.a
,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi.
Syekh Sayyid Abdurrahman
Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a
sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal
sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang
tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah Keluarganya
adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani):
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin
Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa
al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah
Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dari ibunya(Husaini): Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair
Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul
'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra
binti Rasulullah
Shallallahu 'alaihi Wassalam
Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju
Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang
menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada
beberapa orang ulama
seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra'
dan juga Abu Sa'ad al
Muharrimi. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu
menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al
Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj
menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al
Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana
sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut.
Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang
yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau
hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi....
Murid
Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal,
seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami
Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqih terkenal al Mughni.
Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama
satu bulan
sembilan hari.
Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani
sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul
Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa
kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap
kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia
senantiasa menjadi imam
dalam salat fardhu."
Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang
diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki
keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri' Abul Hasan
asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al
Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan
Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H,
meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh
Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar
(kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia
menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku
telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang
dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di
dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab
ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal.
Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah
Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul
Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi
(nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal
al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun
685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di
dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal
menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang
diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil
Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as
Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah
1415 H / 8 April 1995 M.).
Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir
al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat
Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai
dengan sunnah."
Karya karyanya :
1. Tafsir Al Jilani
2. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
3. Futuhul Ghaib.
4. Al-Fath ar-Rabbani
5. Jala' al-Khawathir
6. Sirr al-Asrar
7. Asror Al Asror
8. Malfuzhat
9. Khamsata "Asyara Maktuban
10. Ar Rasael
11. Ad Diwaan
12. Sholawat wal Aurod
13. Yawaqitul Hikam
14. Jalaa al khotir
15. Amrul muhkam
16. Usul as Sabaa
17. Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan
nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan
lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap
orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Ajaran-ajaranya
Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani
adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru
besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan
biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan
menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang
masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah
bertaubat."
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau
mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya
Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat
kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan
atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan
kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga
berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup
dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada
yang mustahil terjadi".
Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam
kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidahnya (
Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah.
(Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang
Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya
di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah,
Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj
Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh
Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8
Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Awal Kemasyhuran
Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah
berkata kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam
dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku
merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat
menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan
perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada
orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab
Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan
dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan
membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut.
Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang
tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan
menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu
'anhum]].
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul
Qadir berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di
pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang".
Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku
sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka".
"Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan
manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan
keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan
engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya
adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku
yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke
Baghdad dan mulai berceramah.
Hubungan Guru & Murid
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak
dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut
ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia
menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi Wassalam yaitu penyayang dan lembut.
5. Dua karakter dari Utsman
yaitu dermawan dan bangun (tahajjud)
pada waktu orang lain sedang tidur.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang
dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang
syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat zhahir,
mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan
ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya
sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al
Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai
seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal
Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan
sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah
kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi
sakaratul maut".
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang
syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid)
jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar
dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat
luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai
pengembara sufi di Padang
Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia
memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul
Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M).
Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206
M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri
sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat
Qodiriyah.
Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada
tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561
H/1166 M. `
6. ABU NAWAS
Nama asli Abu Nawas adalah Abu
Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota
Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu
Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas merupakan seorang pujangga Arab
dan dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas
juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam. Ayahnya, Hani
al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama
Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia
sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu
Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa
mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai
tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya
juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan
keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu
Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam
Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya
bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman.
Pertemuannya
dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya
bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik
pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.
Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di
pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus
bahasa Arab.
Kemudian
ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul
dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat
berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan
inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan
menjilat penguasa.
Dalam
Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair
multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka
sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang
dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka
bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian
Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana,
Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil
untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan
perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata
dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam
khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah
menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca
puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah
murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan
mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah
keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan
menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi,
ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan
oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair
Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan
duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan
Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis
puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap
itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa
ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun
al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah
hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf
bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan
kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya
yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa
lalunya
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi
yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang
195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun
199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang
disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan
di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
1.
SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILI
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili (bahasa Arab:
أبو الحسن الشاذلي) (lahir Ghumarah, Maroko, 1197 - wafat Humaitsara, Mesir, 1258) adalah
pendiri Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di
dunia. Ia dipercayai oleh para pengikutnya sebagai salah seorang keturunan
Nabi Muhammad, yang lahir di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghreb (sekarang
termasuk wilayah Maroko,
Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M.
Biografi
Namanya lengkapnya adalah Abul Hasan Asy-Syadzili
Al-Hasani.[1]
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah pendiri Tarekat Syadziliyah. Nasab atau garis keturunan
Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah
SAW.
Berikut ini nasab Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan,
bin Abdullah Abdul Jabbar, bin Tamim, bin Hurmuz, bin Hatim, bin Qushay, bin
Yusuf, bin Yusya', bin Ward, bin Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa,
bin Muhammad, bin Hasan, bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah
SAW
Sebagian besar sumber yang berbicara tentang sejarah
Asy-Syadzili sepakat bahwa dia lahir di negeri Maghreb pada
tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah (sekarang
kota Ceuta, eksklave
Spanyol di
Afrika Utara). Dia tumbuh di desa ini. Dia menghapal Al-Quran
Al-Karim dan mulai mempelajari ilmu syariat. Kemudian
dia pergi ke kota Tunis
ketika masih sangat muda. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Syadzilah.
Oleh karena itu, dia dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun dia tidak
berasal dari sana, sebagaimana dikatakan oleh penulis al-Qamus. Ada juga yang
mengatakan bahwa dia dinisbatkan kepada desa tersebut karena dia tekun
beribadah di sana.[1]
Ciri-ciri pribadi
Asy-Syadzili berkulit sawo matang, berbadan kurus,
perawakannya tinggi, pipinya tipis, jari-jari kedua tangannya panjang, dan
lidahnya fasih serta perkataannya baik.[1]
Dia tidak terlalu membatasi diri dalam makan dan minum. Dia selalu mengenakan
pakaian yang indah setiap kali memasuki masjid. Dia tidak pernah terlihat
memakai baju-baju bertambalan sebagaimana yang dipakai oleh sebagian sufi, bahkan selalu
mengenakan pakaian bagus. Dia menyukai kuda, memelihara, dan menungganginya.
Dia selalu menasihatkan untuk bersikap moderat.
C.PROFIL TOKOH SUFI YANG TERKENAL
PADA ABADNYA
Tokoh-tokoh para sufi terkemukaabad kesatu dan kedua Hijriyah
1. Hasan al-Basri
Nama lengkapnya al-Hasan bin Abu Sa’id. Dia dilahirkan di
madinah pada tahun 21 H, dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H. Ia adalah
putra Zaid bin sabit seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian
menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basrah, ia
sempat bertemu dengan sahabat-sahabat nabi termasuk tujupuluh di antaranya
adalah yang turut serta dalam perang Badr. Kemudian ibunya adalah hamba sahaya
Ummu Salamah, istri Nabi. Ia tumbuh dalam lingkunagan orang saleh yang mendalam
pengetahuan agamanya. Ia menerima hadis dari sejumlah ahabat dan diriwayatkan
bahwa Ali bin Abi Thalib mengagumi akan kehebatan ilmunya. ( Asmaran As : 2002,
hal265-266 )
2. Ibrahim Bin Adham
Namanya adalah Abu Ishaq bin Adham, lahir di Balkh dari
keluarga bangsawan arab. Dalam legenda sufi ia dikatakan sebagai seorang
pangeran yang meninggalkan kerajaannya, lalu mengembara kea rah Barat untuk
menjalani hidup sebagaui seotang petapa sambil mencari nafkah yang halal hingga
meninggal di negeri Persia kira-kira pada tahun 160 H/777 M. Beberapa sumber
mengatakan bahwa ibrahim terbunuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang
Bizantium Ibrahim bin Adham adalah seorang zahid di khurasan yang sangat
menonjol di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan
Balkh, menurut Nicholson dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang
dibawahinnya. Dia lebih suka memakai baju yang kasar dan mengarahkan
pandangannya di negeri Syiria. Hal ini kulakukan dengan harapan aku bias memelihara
kehidupan beragamaku dari godaan setan dan menjaga keimananku sehingga selamat
sampai ke pintu gerbang kematian( Asmaran As : 2002, hal269-270 )
3. Sufyan al-Sauri
Namanya adalah Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id Bin Masruq
al-Sauri al- Kufi. Dia dilahirkan di Kufah pada tahun 97
H/715 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 161 H/778 M. Dia adalah seorang
tabi’in pilihan dan seorang zahid yang jarang ada tandingannya bahkan merupakn
seorang ulama hadis yang terkenal sehingga dalam merawinkan hadis, dia dijuluki
amir al-mu’minin dalam hal hadis. Dan dia adalah salah seorang dari ulama
mujtahidin yang mempunyai mashab sendiri. Menurut riwayat Abu al-Qasim
al-Junaid mengikuti mashab beliau. Dan mashabnya bias bertahan selama 2 abad.
Sufyan al-Sauri termasuk zahid yang sangat berani, tidak takut dibunuh dalam
mengemukakan kritik terhadap pengusaha, beliau sanagt mencela kehidupan para
pengusaha yang bergelimang dalam kemewahan, hidup berfoya-foya dengan kekayaan
Negara yang diperoleh dari hasil ekspansi dan kemajuan islam, sementara masih
banyak rakyat yang hidup dalam kemelaratan. Beliau dengan lantang memberi
nasihat kepada umat islam agar jangan mengikuti perkehidupan mereka yang telah
rusak moralnya itu. ( Asmaran As : 2002, hal273-274 )
4. Rabi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Isma’il
al-Adawiyah al-Qisiyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit dan
sebagaimana hanya bercorak mitos. Dia lahir I Basrah pada tahun 96 H/ 13 M.
Lalu hidup sebagai hamba sahaya keluarga atik. Dia berasal dari keluarga miskin
dan dari kecil dia tinggal di kota kelahirannya.Di kota ini namanya sangat
harum sebagai seorang manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang saleh
semasanya.Menurut sebuah riwayat ia meninggal pada tahun 185 H/801 M. Orang
orang mengatakan bahwa dia di kuburkan di dkat kota jerussalem Rabi’ah
al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah ini mewujudkan bahwa di
cinta kepada allah SWT. Tetapi dia tidak hanya berbicara tentang cinta ilahi,
namun juga menguraikan ajaran-ajaran tasawuf yang lain. ( Asmaran As : 2002,
hal274-278 )
Tokoh-tokoh sufi terkemuka abad III dan IV Hijriah
1. Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Mahfuz Ma’aruf bin Firuz al-Karkhi. Ia
berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di bagdad. Ia meninggal di kota
ini juga pada tahun 200 H/815 M. Ia dikenal sebagai sufi yang selalu di liputi
rasa rindu kepada Allah SWT sehinnga ia di golongkan ke dalam kelompok auliya.
Dia di pandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf. Dan dia
adalah pertama yang mengembangkan tasawuf dari pada cinta yang di bawa oleh
Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengatakan bahwa timbulnya rasa cinta kepada allah itu
bukan karena diusahakan melalui belajar, tetapi datangnya semata-mata karena
karunia Allah. ( Asmaran As : 2002, hal279-280 )
2. Abu al-Hasan Surri
al-Saqti
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Surri al-Muglisi
al-Saqti. Dia adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman al-Junaidi dan merupakan
seorang tokoh sufi terkemuka di Bagdad, serta pernah mendapat tantangan dari
Ahmad bin Hanbal. Dia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang berkas dan
meninggal pada tahun 253H/867 M dalam usia 98 tahun. Dalam sejarah sufi ai
dikenal sebagai pelopor dalam membahas soal tauhid dan merupakan orang yang
paling wara pada masanya. Disamping itu ia pun seorang imam masjid Bagdad.
Dalam sejarahnya perkembangan tasawuf, Surri al-Saqti dipandang sebagai salah
seorang pendiri sebuah aliran tasawuf Bagdad ini ke berbagai kawasan dunia
islam, misalnya Musa al-Ansari yang menyebarluaskanya ke Khurasan; Abu Ali
al-Ruzbari (322 H di fustat ) yang menyebarluaskannya ke Mesir dan Abu Yazid
al-Adami (341 H ) yang menyebarluaskan ke jazirah arab. ( Asmaran As : 2002,
hal280-283 )
3. Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialag Abu Sulaiman Abdurrahman bin Utbah
al-Darani. Ia lahir di Dran sebuah kampong di kawasan Damaskus; dan meninggal
pada tahun 215 H/830 M. Ia adalah murid Ma’ruf dan merupakan tokoh sufi
terkemuka, seorang arif dan hidupnya sangat wara. Hidup kerohaniannya penuh
diliputi dengan kebersihan jiwa dan kesucian pribadi. Pandangannya dalam
tasawuf mengandung makna dan ibrad yang menjadi panutan bagi penganut ajaran
tasawuf selanjutnya. Dalam sejarahnya al-Darani di kenal sebagai salah seorang
sufi yang banyak membahas tentang ma’rifah dan hakikah. Dalam kaitan ini ai
berkaitan dengan syariah. Hal ini dia tegaskan dalam ucapannya selama beberapa
waktu aku terima persoalan ini sementara aku tidak bias menerimanya kecuali
disertaidua saksi yaitu al-quran dan al-sunnah. ( Asmaran As : 2002, hal283-284
)
4. Haris al-Muhasibi
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Haris bin Asad
al-Basri al-Muhasibi. Ia lahir di Basrah tahun 165 H/781 M. Selagi masih kecil
dia pindah ke bagdad di sana dia kemudian belajar hadis dan teologi, bergaul
rapat dengan tokoh-tokoh terkemuka dan menyaksikan perietiwa penting pada masa
itu. Ia meninggal pada 243 H/851 M. Ajaran-ajaran dan tulisan memberikan
pengaruh yang kuat dan luas kepada ahli-ahli sufi sesudahnya khususnya kepada
Abu Hamid al-Gazali. Dia adlah seorang ulama yang termashur dalam ilmu usul dan
ilmu akhlaq disamping dia juga seorang guru yang kenamaan di kota Bagdad. Dai
digelari al-Muhasibi karena suka mengadakan intropeksi. Seperti sudah
disinggung diatas dai mengarang berbagai kitab tasawuf. Sebagian besar lainnya
memuat analisis kehidupan rohaniahhal inilah yang menjadi inti yang menjadi
pokok tujuan kitabnya Al-Ri’ayah merupakan karya orang islam yang terindah
tentang kehidupan esoteric dalam islam. ( Asmaran As : 2002, hal284-285 )
5. Zu al-Nun al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid Saubun bin Ibrahim Zu
al-Nun al-Misri. Dia lahir di Ekhimim yang terletak di kawasan mesir hulu pada
tahun 155 H/770 M. Banyak guru-guru yang telah di datanginya dan banyak
pengembaraan yang telah dilakukannya baik di negeri arab maupun Syira. Pada
tahun 214 H/829 M. Menurut biografi-biografi pada sufi, dia adalah salah
seorang yang pada masanya terkenal keluasan ilmunya, kerendahan hatinya dan
budi pekertinya yang baik. Dalam tasawuf posisinya dipandang penting karena dia
itulah yang pertama di mesir yang memperbincangkan masalah ahwal dan maqamat
para wali. Dlam tasawuf Zu al-Nun al_misri dipandang sebagai bapak paham
ma’rifah. ( Asmaran As : 2002, hal287-288 )
6. Abu Yazid al-Bustabi
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan
al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, Bagian timur laut
Persia. Ia meninggal di Bustam pula pada 261 H/875 M. Dan makamnya masih ada
hingga saat ini. Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang
bebeda dengan ajaran-ajaran tasawuf lsebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak
tentang oleh ulama fiqh dan kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara.
Memang dalam perkembangannya tasawuf ia sebagai pembawa paham al-fana dan
al-baqa serta sekaligus pencetus paham al-ittihad. Ia adalah seorang tokoh sufi
yang terkenal pada tahun III Hijriyah dan berpendapat bahwa tasawuf yang
dikemukakan seiring dengan kedua sumber ajaran islam. ( Asmaran As : 2002,
hal295-296)
7. Junaid al-Bagdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad
al-Nihawandi. Dia adalah putera seorang pedagang barang pecah belah dan
keponakan surri al-Saqti serta teman akrab haris al-Muhasibi. Dia meninggal di
Bagdad pada tahun 297 H/910 M. Termasuk seorang sufi yang luar biasa teguh
dalam menjalankan syariat agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah
seorang yang sangat faqih sering memberi fatwa sesuai mashab yang dianutnya,
mashab Abu Sauri: serta teman akrab Imam al-Syafi’I ( Asmaran As : 2002,
hal303-304)
8. Al Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mugis Al-Husain bin Mansur bin
Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Ia adalah seorang
alim dalam ilmu agama islam. Sebagai mana dikatakan oleh Ibn Suraij ia adalah
seorang yang hafal al-quran dan sarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fiqih
dan adis serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf dan di juga
seorang zahid yang terkenal pada masanya dan banyak lagi sifat-sifat
kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang
menjadikaannya mampu melahirkan karya-karya gemilang tentang tasawuf. ( Asmaran
As : 2002, hal310-311 )
9. Abu Bakr al-Syili
Nama lengkapnya Abu Bakr Dulaf bin Jahdaral-Syibli
keluarganya berasal dari Khurasan, tetapi dia sendiri dilahirkan di Bagdad. Ia
meninggal pada tahun 334 H/946 M. Dalam usia 87 Tahun. Ia adalah seorang yang
tidak pernah mengeluh menghadapi kehidupan dia hidup penuh kegembiraan.
Bagaimana sikapseseorang dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, dia berujar
Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya. Tasawufnya aialah duduk bersama
allah tanpa ada rasa duka ( Asmaran As : 2002, hal324 )
Tokoh-tokoh sufi
terkemuka abad kelima hijriyah
1. Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah Abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi
ia dilahirkan pada tahun 376 H di Istiwa. Ia adalah seorang tokoh terkemuka
pada abd kelima Hijriyah, yang cenderung mengadakan pembaharuan yakni dengan
mengembalikan tasawuf ke landasan al-quran dan al-sunnah yang merupakan cirri
utama dari ajaran tasawuf sunni. Dapat di katakan ia terkenal karena ia menulis
sebuah risalah tentang tasawuf yang diberi nama Al-Risalah al-Qusyairiyah.Sufi
di berbagai Negara islam dalam tahun 473 H.( Asmaran As : 2002, hal326 )
2. Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu Ismail Abdullah bin Muhammad
al-Ansari. Dia lahir tahun 396 H di herat ia adalah seorang faqih dari mashab
Hambali dan karya-karyanya di bidang tasawuf di pandang amat bermutu. Sebagai
tokoh sufi pada abad kelima hijrah dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin
Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan
penbaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan
ungkapan-ungkapan yang aneh. Karyanya yang terkenal adalah Manazil al-Sa’arin
ila Rabb Al-alamin( Asmaran As : 2002, hal328 )
3. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad al-Tusi al-Syafi dan lebih dikenal dengan nama al-gazali.
Dia di lahirkan pada tahun 450 H/1058 M. Ia mengkaji aliran-aliran para teolog,
filosof dan batiniah sebagaimana diutarakannya di dalam kitabnya Al-Munqiz
memilih jalan tasawuf. ( Asmaran As : 2002, hal330 )
Tokoh-tokoh sufi terkemuka abad keenam hijriyah dan
seterusnya
1. Al-Suhrawardi
al-Maqtul
Nama lengkapnya adalah Abu al-Futuh yahya bin Habsy bin
Amrak di kenal sebagai al-Hakim. Ia dilahirkan di Suhrawad sekityar tahun 549
Hijriyah dan terbunuh di Halb tahun 587 H. Ia meninggalkan sejumlah karya
antara lain adalah Hikmah Al-Isyraq, Al-Talwihat, Hayakil Al-Nur, al-Muqawimat,
Al-Mutaribat, Al-Alwah, Al-Imadiyah den sebagain doa-doa ( Asmaran As : 2002,
hal344 )
2. Muhyiddin ibn’Arabi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Muhyiddin
al-Hatimi al-Hatimi al-Ta’I al-Andalusi. Di andalusi ( Barat ) dia dikenal
dengan nama Ibn’Arabi, tanpa alif-lam. Disamping itu dia biasa disebut dengan
al-Qutb, al-Gaus,al-Syaikh atau Al-Kibrit al-Ahmar. Dia lahir pada tanggal 17
Ramadan 560 H/1163 M di Merica dan meninggal pada tanggal 28 Rabiul akhit 638
H/1240 M. ( Asmaran As : 2002, hal347 )
3. Abd al-Karim al-Jili
Nama lengkapnya Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili. Dia
dilahirkan di al-Jili, suatu tempat di kawasan bagdad pada tahun 767 H/1365 M.
dan meninggal pada tahun 805 H/1403 M. Kitab al-jili yang paling terkenal yang
menggambarkan ajaran tasawufya tentang konsep al-Insan al-Kamil. Kendati
al-Jili membawa konsep kesatuan wujud dan tetap konsisten terhadap ajarannya
namun dalam syariatnya ia tetap menjalankankewajiban ibadah seperti salat,
puasa dan zakat menurutnya semakin tinggi derajad manusia semakin banyak ibadah
yang mesti di lakukannya. ( Asmaran As : 2002, hal356-357 )
4. Ibn al-Farid
Nama lengkapnya adalah Syarifuddin Umar Abu al-Hasan Ali
yang lebih di kenal dengan Ibn al-Farid. Dia adalah seorang penyair sifi cinta
ilahi yang dilahirkan di Cairo pada tahun 576 H yaitu setelah kepindahannya
ayahnya di hammah dan ia meninggal di tempat kelahirannya pada tahun 632
ah/1233 M. Sebagai orang sufi cinta ilahi yang paling menonjol dalam sejarah
islam Ibn al-Farid telah mendedikasikan seluruh hidupnyauntuk cinta tersebut
sebagai hidupnya untuk cinta tersebut sebagai poros utama puisi-puisinya dalam
diwan yang ditinggalkannya.karena itu ia dikenal gelar Sultan al-Asyiqin yang
sekaligus menjadi nama karyanya ( Asmaran As : 2002, hal364)
0 komentar:
Posting Komentar