RSS
Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 07 Desember 2013

DAKWAH DAN PROBLEM MEDERNITAS


DAKWAH DAN PROBLEM MEDERNITAS

A.      Pendalaman Istilah Dan Problem Modernitas
Modern adalah istilah yang berasal dari kata latin moderna yang artinya ‘sekarang’, ‘baru’ atau ‘saat ini’. Jika kita merujuk pada makna asli modern, maka dapat dikatakan bahwa manusia selalu hidup di zaman modern. Oleh karena itu, kalau dilihat dari segi waktu, sejarawan sepakat bahwa sekitar tahun 1500 adalah kelahiran zaman modern di Eropa.[3]
Untuk mengenal istilah modern secara utuh alangkah baiknya kita mengingat perbandingan katanya, yaitu tradisional. Manusia di era modern ini setidaknya terkotak menjadi dua bentuk, yaitu masyarakat yang hidup dengan iptek dan ada sebagian besar yang gatek (gagap teknologi), artinya, hanya numpang hidup bersamaan dengan era modern.Bagian kedua inilah yang sebenarnya dikatakan sebagai kelompok tradisional.
Para aktifis dakwah kampus dan pemuda, misalnya, menganggap keterlambatan Islam dalam mengantisipasi perubahan dikarenakan Para Dai-nya masih banyak yang gatek. Dakwah mereka masih harus terjun ke panggung-panggung pengajian, dari kampung ke-kampung, dari masjid RT ke-RT yang lain. Sehingga dengan perkembangan penduduk dan umat yang semakin meningkat dengan cepat, waktu mereka tidak cukup untuk menjangkau seluruh umat.Bahkan Dai-nya sendiri yang terkadang sangat lamban dan kurang paham adanya bentuk-bentuk transformasi ekonomi, sosial, politik dan budaya yang begitu cepat di tengah masyarakat.
Di sisi lain, mereka yang tahu dan bersahabat dengan iptek pun, belum banyak memanfaatkan media sebagai sarana dakwahnya. Sebagaimana kita saksikan tiap hari di televisi maupun acara di radio, program yang bernuansa pendidikan Islam masih sangat jauh dari kebutuhan.Hampir semua acara didominasi oleh kepentingan kaum pemodal (kapitalis), dengan hanya mengeksploitasi sedikit sensasi, mereka hendak mengeruk keuntungan sebesar-besarnnya.
Meskipun demikian, apapun yang terjadi, Islam sebagai agama paripurna (kaffah) harus memiliki solusinya. Islam menegaskan bahwa diciptakannya manusia tidak lain hanyalah untuk mengabdi, pengabdian kepada Allah dan pengabdian bakti atas sesamanya serta menjaga bumi yang diamanahkan-Nya. Melihat keyakinan ini, setidaknya penulis melihat ada dua bentuk penyelesaian yang tengah di jalankan oleh Ulama Islam, yaitu dengan ala tradisional dan modernitas.
Untuk menggunakan pembedaan istilah tradisionalis dan modernis dalam kacamata teologis (Islam) sangatlah tidak mudah. Karena ketika kita salah sedikit dalam penempatannya bisa jadi apa yang diklaim sebagai kelompok tertentu justru akan menimbulkan ketegangan di intern Islam sendiri. Seperti yang telah nampak oleh mata ketegangan pemikiran antara kelompok konservatif dan kelompok moderat tidak jarang menjadi ketegangan fisik. Oleh sebab itu, apa yang akan penulis diskripsikan sebagai kelompok konvensional sebagai perwakilan muslim tradisionil atau sebagai kelompok moderat yang mewakili kelompok modern, janganlah dianggap bahwa memang kondisi pemahaman orang tersebut secara utuh demikian. Karena mereka sekarang ini masih sedang sama-sama mencari format yang dianggap paling tepat untuk kemajuan Islam.
Dengan demikian, untuk memahami pemikiran mereka harus dilihat obyek mad’unya terlebih dahulu. Sebab dalam teori dakwah semua mad’u tidak dapat disama ratakan, harus dilihat kondisi usia, budaya dan tradisi masyarakatnya.[4] Kedua, pemahaman tentang modern ini harus dibedakan secara ideologis dan teologis. Oleh sebab itu, semua pemahaman harus dikembalikan pada pemahaman tentang ideologi modern, yaitu; iptek sebagai keperluan dakwah Islamiyah.

B.       Tantangan Modernitas
Kini, modernitas sebagai produk peradaban manusia juga berdampak luas pada dunia dakwah. Ketika masyarakat perkotaan tak lagi memiliki waktu untuk pergi ke majlis taklim atau pengajian disebabkan tingkat mobilitas mereka yang tinggi; ketika masyarakat menengah ke atas sangat ketergantungan dengan pelayanan berbasis teknologi; dan ketika industrialisasi melahirkan sikap hedonisme, maka dakwah tak mungkin lagi sekedar ceramah dan tabligh akbar di masjid-masjid; dakwah tak lagi bisa dilakukan secara tradisional kepada masyarakat menengah ke atas; dan dakwah tak mungkin lagi menggunakan logika lama yang tak lagi sejalan dengan logika masyarakat industri. Inilah tantangan yang dihadapi dakwah Islam.
Dengan melihat dinamika sosial budaya yang terus bergulir ke arah modern dengan berbagai dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat, maka dakwah harus mengambil peran yang strategis dalam menangkal efek negatif modernitas. Dalam hal ini, ada lima langkah optimalisasi peran dakwah Islam.
Pertama, penguatan materi dakwah dengan memasukkan materi sosial kemasyarakatan, seperti korupsi, kemiskinan, dan penindasan. Hal ini bertujuan memperluas peran da’i, tidak sekedar berkutat pada materi ukhrowi, melainkan juga berbagai persoalan di masyarakat. Para da’i akan menemukan peran yang lebih besar sebagai problem solver dan mampu mengurangi kompleksitas permasalahan di masyarakat.
Berbagai persoalan sosial kontemporer juga luput dari perhatian pada da’i kita. Isu-isu kemiskinan, pendidikan, kesehatan, pelestarian alam, seakan menjadi tabu dijadikan tema-tema dakwah. Adanya pandangan atas dikotomi agama dan dunia menjadikan sebagian da’i kita kaku dan tidak cukup memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi berbagai isu-isu keumatan.
Sebagai dampaknya, umat Islam mengalami keterasingan di kehidupannya. Di saat dunia tengah gencar dengan isu global warming, umat Islam seakan acuh tak acuh karena kurangnya wawasan. Bahkan dimensi kehidupan bermasyarakat seperti kebersihan lingkungan dan kelestarian alam tak menjadi perhatiannya. Akibatnya umat Islam menjadi terbelakang dalam berbagai aspek: teknologi, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Dengan kemajuan zaman yang terus melahirkan berbagai penemuan, umat Islam harus mampu menerobos berbagai kekakuan pemikiran, untuk kemudian melahirkan berbagai ide-ide perubahan yang visioner, baik terkait sosial kemasyarakatn maupun pelestarian alam.
Kiranya isi dakwah haruslah dinamis. Islam tidak sebatas dipahami dari aspek spiritual saja, melainkan juga dari aspek-aspek sosial, ilmu pengetahuan, dan lainnya. Ini akan menjadikan Islam sebagai agama yang menarik untuk diyakini sekaligus meningkatkan peran serta umat Islam dalam percaturan internasional. Bukan hal mustahil jika suatu saat nanti peradaban dunia akan bergeser ke dunia Islam jika mulai sekarang umat Islam merespon berbagai perubahan dengan sikap positif.
Kedua, melakukan perubahan pada aspek metodologi dakwah, terutama dari bentuk model monolog ke bentuk dialog. Dakwah yang menggunakan pendekatan monolog cenderung melakukan indoktrinasi kepada jamaah. Padahal, Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan juga pencerahan terhadap jamaah.
Metode dan media dakwah harus lebih variatif dan efektif. Banyak dakwah yang hingga sekarang masih dikemas secara tradisional, apa adanya, dan sudah lapuk di tengah kemajuan zaman. Dakwah kita saat ini masih bertumpu pada lisan, ceramah, atau tabligh akbar. Kegiatan dakwah masih berkisar pada aktifitas masjid, mushalla, dan lembaga pendidikan.
Sementara itu, modernitas yang menghadirkan berbagai kemudahan teknologi belum tersentuh secara maksimal. Media televisi, radio, internet, hanyalah bagian kecil media dakwah yang saat ini belum dikelola secara maksimal. Media massa, baik cetak maupun elektronik, merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat modern. Para pekerja, akademisi, dan masyarakat bisnis kini telah dilayani oleh berbagai kemajuan teknologi.
Dakwah tidak selamanya dilakukan satu arah; melalui ceramah, tablig akbar, khutbah jum’at, melainkan juga harus dikembangkan model dialog; jama’ah diajak mengeluarkan berbagai permasalahan sekaligus ide-ide perubahannya. Hal ini akan memudahkan mengungkap permasalahan yang dihadapi masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya.
Ketiga, menjalin kemitraan dengan institusi lain dalam pembinaan umat. Dakwah haruslah dijalankan secara bersama, tidak sendiri-sendiri. Di masyarakat terdapat banyak institusi yang intinya memiliki kesamaan tujuan. Antar lembaga-lembaga dakwah harus terjalin sinergi program. Begitupun dengan institusi pemerintahan, seperti Kepala Desa di tingkat Desa, agar ada kesamaan pandangan dalam pola pengangan dan pembinaan masyarakat. Inilah kemitraan yang harus dikembangkan dalam berdakwah.
Keempat, memperkuat keberpihakan kepada kaum tertindas. Dalam berbagai kasus, banyak sekali masyarakat yang tertindas oleh kelompok yang lebih kuat. Kasus perebutan lahan, pengembangan perumahan yang mengganggu mata pencaharian masyarakat, adalah contoh adanya ketertindasan. Untuk itulah, terhadap kasus-kasus seperti ini para da’i harus mengmbil peran yang besar sehingga masyarakat merasa dibela oleh institusi agama. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi para da’i.
Kelima, memberikan advokasi kepada masyarakat terhadap berbagai kasus yang menimpanya. Kasus-kasus perburuhan, nelayan, petani adalah yang paling sering terjadi. Inilah bagian dari tugas para da’i untuk ikut membantu memberikan advokasi
Itulah, modernitas sebagai sebuah keniscayaan bukan saja memberikan dampak positif, melainkan juga dampak negatif yang tak kalah besar bagi kehidupan umat manusia. Dua sisi modernitas inilah yang kini juga menjadi problem dakwah dan umat Islam. Terhadap berbagai dampak positifnya, dakwah harus mampu melihatnya sebagai sebuah potensi bagi pengembangan Islam. Sebaliknya, terhadap dampak negatifnya harus pula disikapi oleh para praktisi dakwah agar modernitas tidak memberikan dampak kerusakan yang luas dalam kehidupan umat beragama.

C.   Solusi Ulama Konvensional Dan Moderat
       a. Solusi Ulama Konvensional
Dalam menghadapi tantangannya, Ulama Konvensional lebih senang menggunakan istilah salaf al-sholeh.Mereka mengharamkan segala bentuk yang datang dari Barat.Meskipun dalam konsistensinya masih perlu dipertanyakan.Sebagaimana kita ketahui, dengan pesatnya kemajuan media cetak maupun elektronik, masih ada dari ulama-ulama kita yang mengharamkan melihat tayangan televesi.Namun hanya sebagian kecil saja golongan yang sependapat dengan ulama ini, kelompok-kelompok macam ini, mereka konsisten tidak mau melihat tayangan televisi.
Di antaranya adalah kelompok Aisyiah dan Muhammadiyah yang mengitruksikan pelarangan melihat siaran televisi dengan ungkapan “Matikan TV mu”.[5] Meskipun, kelompok ini dalam konsistensinya masih perlu dipertanyakan. Kelompok ini menganggap televisi adalah agen pembusukan moral dan aqidah generasi Islam.Sebab apapun yang ditayangkan televisi, mayoritas adalah reduksi moral, cenderung membebaskan, dan berita-berita yang disajikannya pun tidak dapat dinafikan ada politisasi.Kita tidak dapat mengelak kalau yang disajikan oleh televisi-televisi nyaris tidak ada muatan pendidikannya.Apa yang dikatakan oleh kelompok Aisyiah dan Muhammadiyah adalah benar, bahwa televisi selama ini adalah agen pembusukan moralitas. Oleh karena itu, kelompok ini sanggup meneguhkan keimanannya dengan tanpa melihat acara-acara tayangan televisi.
Kelompok ini memiliki pandangan bahwa jika hal ini dapat direalisasikan oleh seluruh umat Islam, niscaya kemrosotan moral pemuda Bangsa dan Agama tidak secepat keadaannya.Mereka lebih senang shoping, jalan-jalan, berhura-hura, pacaran dan lain sebagainya.Semua ini tidak dapat dielakkan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah pengaruh media TV. Karena apa yang disajikan oleh tayangan televisi, baik sinetron maupun yang lain lebih didominasi sifat yang gelamoris.
Benar, kalau di sinetron ada tayangan anak kampus maupun anak SMU yang tengah duduk dibangku sekolah, akan tetapi yang mencolok dalam skenario filmnya hanya pacaran yang lebih ditonjolkan. Belum pernah kita temukan film yang intens dalam kampus maupun sekolahan memperdebatkan soal matematika, sosiolgi, biologi, sejarah, filsafat dan lain sebagainya. Maka, mengharamkan melihat tayangan televisi adalah salah satu jawaban yang tepat untuk membentengi moral generasi agama dan bangsa.[6] 
b. Solusi Ulama Moderat
Menurut kelompok ini, perubahan adalah sunnatullah yang akan terus berjalan. Perubahan dan kemajuan tidak akan dapat dihentikan hanya karena mengharamkannya. Padahal, belum tentu apa yang diharamkan itu pada hakekatnya adalah diharamkan oleh Allah. Kita harus terbuka dengan realitas kehidupan, tapi, bukan berarti menerima mentah-mentah apa yang telah kita ketahui. Di sinilah pentingnya mendialogkan antara realitas dan ajaran agama.Tidak sebagaimana pandangan ekstrimis bahwa pesan agama itu bukan untuk didialogkan, tapi diimplementasikan sehingga pandangan keagamaan semacam ini seringkali menemui kegagalan. Padahal, turunnya al-Quran yang berangsur-angsur itu sendiri menandakan ada proses dialog dengan tradisi setempat.
Namun, kita harus mengakui bahwa sebagaian kelompok ini ada yang cenderung melebih-lebihkan dengan keberhasilan Barat.Pencapaian Barat dalam bidang teknologi dan produksi dianggap sukses dalam segala-galanya.Sehingga hal ini mengakibatkan munculnya sifat fanatik buta. Tak pelak jika semua yang mereka dapatkan dari Barat lantas diterjemahkan sebagai apa adanya. Budaya Barat yang telah tercerabut dari akar teologisnya pun dibawa mentah-mentah ke negeri-negeri Muslim.Misalnya, isu tentang persamaan gender dan Hak Azazi Manusia (HAM) yang seolah menjadi isu aktual yang tidak pernah dibicarakan dalam Islam. Mungkin jargonnya berbeda, akan tetapi isu-isu tersebut pada esensinya adalah isu yang telah dibahas oleh Islam sejak kelahirannya.
Dengan demikian, dakwah Islam dalam menyikapi sebuah perubahan modernisasi harus mengacu sepenuhnya pada norma-norma yang telah digariskan oleh pembawa Risalahnya. Di antaranya; (1)Islam menerima adanya peningkatan dan perubahan hidup yang lebih baik, (2) Islam mempunyai nilai dan norma sendiri dalam memandang sebuah prilaku (moral) dan budaya manusianya, (3) Islam mengajak umatnya untuk menuju kehidupan yang paling sempurna, yaitu mencapai ridha-Nya. (4) Pandangan Islam tentang dunia hanya tempat sarana, tempat menanam kebaikan, mengabdi kepada Allah dan berbudi pada sesama.

DDa’i moderat-reformis dalam islam
Moderat dalam pandangan Islam dibedakan dengan fanatik buta.Pada umumnya, pemahaman tentang Islam moderat adalah keislaman yang dapat menjadi penengah (Ummatan Wasathan), dan sebaik-baiknya perkara adalah diambil jalan tengahnya (khaira al-umur ausathuha).Begitu juga dalam menyikapi sebuah perubahan yang dalam satu sisi tidak dapat dielakkan.Sebab kehidupan manusia tidak sebagaimana kehidupan hewan, statis sejak keberadaannya.
Untuk membedakan dengan istilah moderat yang sering berlebihan, saya memilih untuk menggabungkan dua kata untuk penyebutannya, yaitu: ‘moderat-reformis’ (MR). Seorang Da’i MR yang mau mengambil jalan tengah harus bisa membedakan produk primer dan sekunder dalam Islam.Produk primer adalah esensi yang harus disampaikan oleh da’i kepada komunikan (mad’u) nya.Sedangkan produk sekunder adalah sarana atau mediasi untuk mencapai tujuan dakwahnya.
Alamah Thaba’ Thaba’i mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya senantiasa ingin sampai pada tujuannya dengan perantaraan jalan yang lebih dekat dan mudah. Sedangkan manusia di berbagai tempat, kebutuhan akan alat dan sarana berubah-ubah sejalan dengan temuan-temuan barunya.[7] Tempo dulu, orang ceramah tidak menggunakan pengeras suara, sehingga pembicaraannya hanya dapat didengar oleh segerombolan jama’ah saja. Tapi, dengan penemuan alat pengeras suara, penceramah menjadi relatif irit suaranya, meskipun menghadapi berjuta umat yang berkumpul dilapangan.
Konon, pertamakali ditemukannya pengeras suara, banyak ulama yang menolak untuk menggunakannya karena dianggap gaung suaranya yang besar itu suara setan.Sebab, tidak jarang pengeras suara itu juga dimanfaatkan oleh group panggung hiburan, yang gaungnya suaranya mirip suara orang kesurupan. Padahal, seorang yang menemukan pengeras suara tidak ada motif apakah penemuannya itu nanti akan digunakan jama’ah wirid dan tahlilan atau digunakan pedangdut dengan jaipongannya.
Dengan demikian, apakah dengan penemuan kemajuan (penegeras suara) merupakan dosa?Begitu halnya dengan keberadaan media, baik cetak maupun elektronik.Kita tidak dapat semerta-merta menimpakan dosa pada penemunya.Jika anggapan ini terjadi, menurut Thaba’ Thabai, adalah kebodohan manusia yang tidak dapat memahaminya dengan baik.
Oleh karena itu, di era modern yang ditandai dengan kemajuan iptek, seorang da’i lebih baik menempatkan dirinya pada posisi Da’i MR. Mengupayakan menggali dan membawa khazanah (produk primer) Islam, serta mampu menciptakan produk sekunder sebagai sarana penyampaian dakwah yang lebih efektif.


[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: PT Gramedia Pusataka Utama, 2004),  hal. 2-3.
[4]Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah Jejak Risalah dan Dasar-Dasar Da’wah, (Jakarta: Media Da’wah, 1420/2000), hal. 164.
[5]Media Ma’arif, Vol.2 No.6, Desember 2007, hal, 4.
[6] Disampaikan juga oleh Akhlis Suryapati (Pengamat Film dan Pengamat Budaya) dalam Makalah Diskusi Pro Kontra Film Sebagai Misi Pencerdasan, 4  Desember 2010, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat. “iklim perdagangan film di Indonesia sedang menempatkan film-film gam­pangan berbiaya murah dengan tema seks dan mistis sebagai produk yang bisa ‘dijual’ serta dianggap memenuhi standar break event point rasio, maka jenis film semacam itulah yang dibuat dan dipasarkan oleh pelaku industri film dan didukung oleh pemerintah. Dari sekitar 70 judul film Indonesia tahun ini, sekitar dua pertiganya merupakan film ‘pasaran’, bertema seks, mistik, horor, atau yang kata para kritikus dan budayawan ‘tidak mendidik’ dan ‘tidak mencerdaskan”


[7] Murtadha Mutahhari, Islam dan Tantangan Zaman, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1996), , hal, 137.

0 komentar:

Posting Komentar