DAKWAH DAN PROBLEM MEDERNITAS
A. Pendalaman Istilah Dan Problem Modernitas
Modern adalah istilah yang berasal dari kata latin moderna yang
artinya ‘sekarang’, ‘baru’ atau ‘saat ini’. Jika kita merujuk pada makna asli
modern, maka dapat dikatakan bahwa manusia selalu hidup di zaman modern. Oleh
karena itu, kalau dilihat dari segi waktu, sejarawan sepakat bahwa sekitar
tahun 1500 adalah kelahiran zaman modern di Eropa.[3]
Untuk mengenal istilah modern secara utuh alangkah
baiknya kita mengingat perbandingan katanya, yaitu tradisional. Manusia di era
modern ini setidaknya terkotak menjadi dua bentuk, yaitu masyarakat yang hidup
dengan iptek dan ada sebagian besar yang gatek (gagap teknologi), artinya,
hanya numpang hidup bersamaan dengan era modern.Bagian kedua inilah yang
sebenarnya dikatakan sebagai kelompok tradisional.
Para aktifis dakwah kampus dan pemuda, misalnya, menganggap keterlambatan
Islam dalam mengantisipasi perubahan dikarenakan Para Dai-nya masih banyak yang
gatek. Dakwah mereka masih harus terjun ke panggung-panggung pengajian, dari
kampung ke-kampung, dari masjid RT ke-RT yang lain. Sehingga dengan
perkembangan penduduk dan umat yang semakin meningkat dengan cepat, waktu
mereka tidak cukup untuk menjangkau seluruh umat.Bahkan Dai-nya sendiri yang
terkadang sangat lamban dan kurang paham adanya bentuk-bentuk transformasi
ekonomi, sosial, politik dan budaya yang begitu cepat di tengah masyarakat.
Di sisi lain, mereka yang tahu dan bersahabat dengan iptek pun, belum
banyak memanfaatkan media sebagai sarana dakwahnya. Sebagaimana kita saksikan
tiap hari di televisi maupun acara di radio, program yang bernuansa pendidikan
Islam masih sangat jauh dari kebutuhan.Hampir semua acara didominasi oleh
kepentingan kaum pemodal (kapitalis), dengan hanya mengeksploitasi sedikit
sensasi, mereka hendak mengeruk keuntungan sebesar-besarnnya.
Meskipun demikian, apapun yang terjadi, Islam sebagai agama paripurna (kaffah)
harus memiliki solusinya. Islam menegaskan bahwa diciptakannya manusia tidak
lain hanyalah untuk mengabdi, pengabdian kepada Allah dan pengabdian bakti atas
sesamanya serta menjaga bumi yang diamanahkan-Nya. Melihat keyakinan ini,
setidaknya penulis melihat ada dua bentuk penyelesaian yang tengah di jalankan
oleh Ulama Islam, yaitu dengan ala tradisional dan modernitas.
Untuk menggunakan pembedaan istilah tradisionalis dan modernis dalam
kacamata teologis (Islam) sangatlah tidak mudah. Karena ketika kita salah
sedikit dalam penempatannya bisa jadi apa yang diklaim sebagai kelompok
tertentu justru akan menimbulkan ketegangan di intern Islam sendiri. Seperti
yang telah nampak oleh mata ketegangan pemikiran antara kelompok konservatif
dan kelompok moderat tidak jarang menjadi ketegangan fisik. Oleh sebab itu, apa
yang akan penulis diskripsikan sebagai kelompok konvensional sebagai perwakilan
muslim tradisionil atau sebagai kelompok moderat yang mewakili kelompok modern,
janganlah dianggap bahwa memang kondisi pemahaman orang tersebut secara utuh
demikian. Karena mereka sekarang ini masih sedang sama-sama mencari format yang
dianggap paling tepat untuk kemajuan Islam.
Dengan demikian, untuk memahami pemikiran mereka harus dilihat obyek mad’unya
terlebih dahulu. Sebab dalam teori dakwah semua mad’u tidak dapat disama
ratakan, harus dilihat kondisi usia, budaya dan tradisi masyarakatnya.[4] Kedua,
pemahaman tentang modern ini harus dibedakan secara ideologis dan teologis.
Oleh sebab itu, semua pemahaman harus dikembalikan pada pemahaman tentang
ideologi modern, yaitu; iptek sebagai keperluan dakwah Islamiyah.
B. Tantangan Modernitas
Kini, modernitas sebagai produk peradaban manusia juga
berdampak luas pada dunia dakwah. Ketika masyarakat perkotaan tak lagi memiliki
waktu untuk pergi ke majlis taklim atau pengajian disebabkan tingkat mobilitas
mereka yang tinggi; ketika masyarakat menengah ke atas sangat ketergantungan
dengan pelayanan berbasis teknologi; dan ketika industrialisasi melahirkan
sikap hedonisme, maka dakwah tak mungkin lagi sekedar ceramah dan tabligh akbar
di masjid-masjid; dakwah tak lagi bisa dilakukan secara tradisional kepada
masyarakat menengah ke atas; dan dakwah tak mungkin lagi menggunakan logika
lama yang tak lagi sejalan dengan logika masyarakat industri. Inilah tantangan
yang dihadapi dakwah Islam.
Dengan melihat dinamika sosial budaya yang terus
bergulir ke arah modern dengan berbagai dampaknya terhadap kehidupan sosial
masyarakat, maka dakwah harus mengambil peran yang strategis dalam menangkal
efek negatif modernitas. Dalam hal ini, ada lima langkah optimalisasi peran
dakwah Islam.
Pertama, penguatan materi dakwah dengan memasukkan materi sosial kemasyarakatan, seperti
korupsi, kemiskinan, dan penindasan. Hal ini bertujuan memperluas peran da’i,
tidak sekedar berkutat pada materi ukhrowi, melainkan juga berbagai persoalan
di masyarakat. Para da’i akan menemukan peran yang lebih besar sebagai problem
solver dan mampu mengurangi kompleksitas permasalahan di masyarakat.
Berbagai persoalan sosial kontemporer juga luput dari
perhatian pada da’i kita. Isu-isu kemiskinan, pendidikan, kesehatan,
pelestarian alam, seakan menjadi tabu dijadikan tema-tema dakwah. Adanya pandangan
atas dikotomi agama dan dunia menjadikan sebagian da’i kita kaku dan tidak
cukup memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi berbagai isu-isu keumatan.
Sebagai dampaknya, umat Islam mengalami keterasingan
di kehidupannya. Di saat dunia tengah gencar dengan isu global warming,
umat Islam seakan acuh tak acuh karena kurangnya wawasan. Bahkan dimensi
kehidupan bermasyarakat seperti kebersihan lingkungan dan kelestarian alam tak
menjadi perhatiannya. Akibatnya umat Islam menjadi terbelakang dalam berbagai
aspek: teknologi, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Dengan kemajuan zaman yang terus melahirkan berbagai
penemuan, umat Islam harus mampu menerobos berbagai kekakuan pemikiran, untuk
kemudian melahirkan berbagai ide-ide perubahan yang visioner, baik terkait sosial
kemasyarakatn maupun pelestarian alam.
Kiranya isi dakwah haruslah dinamis. Islam tidak
sebatas dipahami dari aspek spiritual saja, melainkan juga dari aspek-aspek
sosial, ilmu pengetahuan, dan lainnya. Ini akan menjadikan Islam sebagai agama
yang menarik untuk diyakini sekaligus meningkatkan peran serta umat Islam dalam
percaturan internasional. Bukan hal mustahil jika suatu saat nanti peradaban
dunia akan bergeser ke dunia Islam jika mulai sekarang umat Islam merespon
berbagai perubahan dengan sikap positif.
Kedua, melakukan perubahan pada aspek metodologi dakwah,
terutama dari bentuk model monolog ke bentuk dialog. Dakwah yang menggunakan
pendekatan monolog cenderung melakukan indoktrinasi kepada jamaah. Padahal,
Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan juga pencerahan terhadap jamaah.
Metode dan media dakwah harus lebih variatif dan
efektif. Banyak dakwah yang hingga sekarang masih dikemas secara tradisional,
apa adanya, dan sudah lapuk di tengah kemajuan zaman. Dakwah kita saat ini
masih bertumpu pada lisan, ceramah, atau tabligh akbar. Kegiatan dakwah masih
berkisar pada aktifitas masjid, mushalla, dan lembaga pendidikan.
Sementara itu, modernitas yang menghadirkan berbagai
kemudahan teknologi belum tersentuh secara maksimal. Media televisi, radio,
internet, hanyalah bagian kecil media dakwah yang saat ini belum dikelola
secara maksimal. Media massa, baik cetak maupun elektronik, merupakan bagian
penting dalam kehidupan masyarakat modern. Para pekerja, akademisi, dan
masyarakat bisnis kini telah dilayani oleh berbagai kemajuan teknologi.
Dakwah tidak selamanya dilakukan satu arah; melalui
ceramah, tablig akbar, khutbah jum’at, melainkan juga harus dikembangkan model
dialog; jama’ah diajak mengeluarkan berbagai permasalahan sekaligus ide-ide
perubahannya. Hal ini akan memudahkan mengungkap permasalahan yang dihadapi
masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya.
Ketiga, menjalin kemitraan dengan institusi lain dalam pembinaan umat. Dakwah
haruslah dijalankan secara bersama, tidak sendiri-sendiri. Di masyarakat
terdapat banyak institusi yang intinya memiliki kesamaan tujuan. Antar
lembaga-lembaga dakwah harus terjalin sinergi program. Begitupun dengan
institusi pemerintahan, seperti Kepala Desa di tingkat Desa, agar ada kesamaan
pandangan dalam pola pengangan dan pembinaan masyarakat. Inilah kemitraan yang
harus dikembangkan dalam berdakwah.
Keempat, memperkuat keberpihakan kepada kaum tertindas. Dalam berbagai kasus,
banyak sekali masyarakat yang tertindas oleh kelompok yang lebih kuat. Kasus
perebutan lahan, pengembangan perumahan yang mengganggu mata pencaharian
masyarakat, adalah contoh adanya ketertindasan. Untuk itulah, terhadap
kasus-kasus seperti ini para da’i harus mengmbil peran yang besar sehingga
masyarakat merasa dibela oleh institusi agama. Rasa empati sosial merupakan
prasyarat bagi para da’i.
Kelima, memberikan advokasi kepada masyarakat terhadap berbagai kasus yang
menimpanya. Kasus-kasus perburuhan, nelayan, petani adalah yang paling sering
terjadi. Inilah bagian dari tugas para da’i untuk ikut membantu memberikan
advokasi
Itulah, modernitas sebagai sebuah keniscayaan bukan
saja memberikan dampak positif, melainkan juga dampak negatif yang tak kalah
besar bagi kehidupan umat manusia. Dua sisi modernitas inilah yang kini juga
menjadi problem dakwah dan umat Islam. Terhadap berbagai dampak positifnya,
dakwah harus mampu melihatnya sebagai sebuah potensi bagi pengembangan Islam.
Sebaliknya, terhadap dampak negatifnya harus pula disikapi oleh para praktisi
dakwah agar modernitas tidak memberikan dampak kerusakan yang luas dalam
kehidupan umat beragama.
C. Solusi Ulama Konvensional Dan Moderat
a. Solusi Ulama
Konvensional
Dalam menghadapi tantangannya, Ulama Konvensional
lebih senang menggunakan istilah salaf al-sholeh.Mereka mengharamkan
segala bentuk yang datang dari Barat.Meskipun dalam konsistensinya masih perlu
dipertanyakan.Sebagaimana kita ketahui, dengan pesatnya kemajuan media cetak
maupun elektronik, masih ada dari ulama-ulama kita yang mengharamkan melihat tayangan
televesi.Namun hanya sebagian kecil saja golongan yang sependapat dengan ulama
ini, kelompok-kelompok macam ini, mereka konsisten tidak mau melihat tayangan
televisi.
Di antaranya adalah kelompok Aisyiah dan Muhammadiyah
yang mengitruksikan pelarangan melihat siaran televisi dengan ungkapan “Matikan
TV mu”.[5]
Meskipun, kelompok ini dalam konsistensinya masih perlu dipertanyakan. Kelompok ini menganggap televisi adalah agen
pembusukan moral dan aqidah generasi Islam.Sebab apapun yang ditayangkan televisi,
mayoritas adalah reduksi moral, cenderung membebaskan, dan berita-berita yang
disajikannya pun tidak dapat dinafikan ada politisasi.Kita tidak dapat mengelak
kalau yang disajikan oleh televisi-televisi nyaris tidak ada muatan
pendidikannya.Apa yang dikatakan oleh kelompok Aisyiah dan Muhammadiyah adalah
benar, bahwa televisi selama ini adalah agen pembusukan moralitas. Oleh karena
itu, kelompok ini sanggup meneguhkan keimanannya dengan tanpa melihat
acara-acara tayangan televisi.
Kelompok ini memiliki pandangan bahwa jika hal ini
dapat direalisasikan oleh seluruh umat Islam, niscaya kemrosotan moral pemuda
Bangsa dan Agama tidak secepat keadaannya.Mereka lebih senang shoping,
jalan-jalan, berhura-hura, pacaran dan lain sebagainya.Semua ini tidak dapat dielakkan
bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah pengaruh media TV. Karena apa yang disajikan oleh tayangan
televisi, baik sinetron maupun yang lain lebih didominasi sifat yang gelamoris.
Benar, kalau di sinetron ada tayangan anak kampus
maupun anak SMU yang tengah duduk dibangku sekolah, akan tetapi yang mencolok
dalam skenario filmnya hanya pacaran yang lebih ditonjolkan. Belum pernah kita temukan film yang intens dalam
kampus maupun sekolahan memperdebatkan soal matematika, sosiolgi, biologi,
sejarah, filsafat dan lain sebagainya. Maka, mengharamkan melihat tayangan
televisi adalah salah satu jawaban yang tepat untuk membentengi moral generasi
agama dan bangsa.[6]
b. Solusi Ulama Moderat
Menurut kelompok ini, perubahan adalah sunnatullah yang akan terus
berjalan. Perubahan dan kemajuan tidak akan dapat dihentikan hanya karena
mengharamkannya. Padahal, belum tentu apa yang diharamkan itu pada hakekatnya
adalah diharamkan oleh Allah. Kita harus terbuka dengan realitas kehidupan,
tapi, bukan berarti menerima mentah-mentah apa yang telah kita ketahui. Di
sinilah pentingnya mendialogkan antara realitas dan ajaran agama.Tidak
sebagaimana pandangan ekstrimis bahwa pesan agama itu bukan untuk didialogkan,
tapi diimplementasikan sehingga pandangan keagamaan semacam ini seringkali
menemui kegagalan. Padahal, turunnya al-Quran yang berangsur-angsur itu sendiri
menandakan ada proses dialog dengan tradisi setempat.
Namun, kita harus mengakui bahwa sebagaian kelompok
ini ada yang cenderung melebih-lebihkan dengan keberhasilan Barat.Pencapaian
Barat dalam bidang teknologi dan produksi dianggap sukses dalam segala-galanya.Sehingga
hal ini mengakibatkan munculnya sifat fanatik buta. Tak pelak jika semua yang mereka dapatkan dari
Barat lantas diterjemahkan sebagai apa adanya. Budaya Barat yang telah
tercerabut dari akar teologisnya pun dibawa mentah-mentah ke negeri-negeri
Muslim.Misalnya, isu tentang persamaan gender dan Hak Azazi Manusia (HAM) yang
seolah menjadi isu aktual yang tidak pernah dibicarakan dalam Islam. Mungkin
jargonnya berbeda, akan tetapi isu-isu tersebut pada esensinya adalah isu yang
telah dibahas oleh Islam sejak kelahirannya.
Dengan demikian, dakwah Islam dalam menyikapi sebuah perubahan modernisasi
harus mengacu sepenuhnya pada norma-norma yang telah digariskan oleh pembawa
Risalahnya. Di antaranya; (1)Islam menerima adanya peningkatan dan perubahan
hidup yang lebih baik, (2) Islam mempunyai nilai dan norma sendiri dalam
memandang sebuah prilaku (moral) dan budaya manusianya, (3) Islam mengajak umatnya
untuk menuju kehidupan yang paling sempurna, yaitu mencapai ridha-Nya. (4)
Pandangan Islam tentang dunia hanya tempat sarana, tempat menanam kebaikan,
mengabdi kepada Allah dan berbudi pada sesama.
D. Da’i moderat-reformis
dalam islam
Moderat dalam pandangan Islam dibedakan dengan fanatik
buta.Pada umumnya, pemahaman tentang Islam moderat adalah keislaman yang dapat
menjadi penengah (Ummatan Wasathan), dan sebaik-baiknya perkara adalah
diambil jalan tengahnya (khaira al-umur ausathuha).Begitu juga dalam
menyikapi sebuah perubahan yang dalam satu sisi tidak dapat dielakkan.Sebab
kehidupan manusia tidak sebagaimana kehidupan hewan, statis sejak
keberadaannya.
Untuk membedakan dengan istilah moderat yang sering berlebihan, saya
memilih untuk menggabungkan dua kata untuk penyebutannya, yaitu:
‘moderat-reformis’ (MR). Seorang Da’i MR yang mau mengambil jalan tengah harus
bisa membedakan produk primer dan sekunder dalam Islam.Produk primer adalah
esensi yang harus disampaikan oleh da’i kepada komunikan (mad’u)
nya.Sedangkan produk sekunder adalah sarana atau mediasi untuk mencapai tujuan
dakwahnya.
Alamah Thaba’ Thaba’i mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya senantiasa
ingin sampai pada tujuannya dengan perantaraan jalan yang lebih dekat dan
mudah. Sedangkan manusia di berbagai tempat, kebutuhan akan alat dan sarana
berubah-ubah sejalan dengan temuan-temuan barunya.[7] Tempo dulu, orang ceramah
tidak menggunakan pengeras suara, sehingga pembicaraannya hanya dapat didengar
oleh segerombolan jama’ah saja. Tapi, dengan penemuan alat pengeras suara,
penceramah menjadi relatif irit suaranya, meskipun menghadapi berjuta umat yang
berkumpul dilapangan.
Konon, pertamakali ditemukannya pengeras suara, banyak
ulama yang menolak untuk menggunakannya karena dianggap gaung suaranya yang
besar itu suara setan.Sebab, tidak jarang pengeras suara itu juga dimanfaatkan
oleh group panggung hiburan, yang gaungnya suaranya mirip suara orang
kesurupan. Padahal, seorang yang menemukan pengeras suara tidak ada motif apakah penemuannya
itu nanti akan digunakan jama’ah wirid dan tahlilan atau digunakan pedangdut
dengan jaipongannya.
Dengan demikian, apakah dengan penemuan kemajuan
(penegeras suara) merupakan dosa?Begitu halnya dengan keberadaan media, baik
cetak maupun elektronik.Kita tidak dapat semerta-merta menimpakan dosa pada
penemunya.Jika anggapan ini terjadi, menurut Thaba’ Thabai, adalah kebodohan
manusia yang tidak dapat memahaminya dengan baik.
Oleh karena itu, di era
modern yang ditandai dengan kemajuan iptek, seorang da’i lebih baik menempatkan
dirinya pada posisi Da’i MR. Mengupayakan menggali dan membawa khazanah (produk
primer) Islam, serta mampu menciptakan produk sekunder sebagai sarana
penyampaian dakwah yang lebih efektif.
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari
Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: PT Gramedia Pusataka Utama, 2004),
hal. 2-3.
[4]Mohammad
Natsir, Fiqhud Da’wah Jejak Risalah dan Dasar-Dasar Da’wah, (Jakarta:
Media Da’wah, 1420/2000), hal. 164.
[5]Media Ma’arif, Vol.2 No.6, Desember 2007,
hal, 4.
[6] Disampaikan juga oleh Akhlis Suryapati
(Pengamat Film dan Pengamat Budaya) dalam Makalah
Diskusi Pro Kontra Film Sebagai Misi Pencerdasan, 4 Desember 2010, di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat. “iklim perdagangan film
di Indonesia sedang menempatkan film-film gampangan berbiaya murah dengan tema
seks dan mistis sebagai produk yang bisa ‘dijual’ serta dianggap memenuhi
standar break event point rasio, maka
jenis film semacam itulah yang dibuat dan dipasarkan oleh pelaku industri film
dan didukung oleh pemerintah. Dari sekitar 70 judul film Indonesia tahun ini,
sekitar dua pertiganya merupakan film ‘pasaran’, bertema seks, mistik, horor,
atau yang kata para kritikus dan budayawan ‘tidak mendidik’ dan ‘tidak
mencerdaskan”
[7] Murtadha Mutahhari, Islam dan Tantangan
Zaman, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1996), , hal, 137.
0 komentar:
Posting Komentar