RSS
Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 07 Desember 2013

KEPEMILIKAN DALAM ISLAM

KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
 
A.    Pengertian Kepemilikan
“Kepemilikan” sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka” yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab “milk” berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.[1]
Dalam istilah kepemilikan berarti pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan hartanya yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang menguasainya.
Para fukoha memberikan batasan-batasan syar’i “kepemilikan” dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama.
 Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa “milik” adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
a. Pembagian Harta
1. Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihak milikan kepada orang lain
Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihakmilikan kepada orang lain adalh setiap harta milik umum seperti jalanan, jembatan, sungai dll. dimana harta/barang tersebut untuk keperluan umum.
2. Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali dengan ketentuan syari’ah
Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali dengan ketentuan syari’ah Seperti harta wakaf, harta baitul mal dll. Maka harta wakaf tidak bisa dijual atau dihibahkan kecuali dalam kondisi tertentu seperti mudah rusak ataupun biaya pengurusannya lebih besar nilai hartanya
3. Harta yang dapat dimiliki dan dihak milikan kepada orang lain yaitu harta selain yang termasuk dalam kategori harta yang tersebut diatas
b. Karakteristik Hak Manfaat Atau Pemanfaatan Atas Sesuatu Harta
1. Kepemilikan tidak sempurna dapat dibatasi dengan waktu, tempat ataupun persyaratan tertentu ketika memualai kepemilikannya
2. Tidak dapat diwariskan menurut hanafiah sedangkan menurut jumhul ulama boleh diwariskan
3. Bagi pemilik manfaat (pengguna)dapat menerima harta yang hendak digunakan secara utuh dan ia wajib menjaga penuh segala sesuatu yang berhubungan dengan harta tersebut. Maka baginya tidak wajib menggantinya kecuali kalau kerusakan tersebut disebabkan olehnya.[2]
4. Segala pengeluaran yang diperlukan oleh pemakaian harta tersebut ditanggung pengguna apabila dalam setatus peminjaman, adapun apabila dalam status sewa maka pemilik resmi harta tersebut yang harus menggantinya.
5. Setelah pemakaian harta tersebut, pihak pemakai harus segera mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya, kecuali kalau ada sesuatu hal berkenaan dengan tuntutan pemilik resmi berkenaan kerugian yang diterima pada hartanya

B. Konsep Dasar Kepemilikan
Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-hadist sangat memperhatikan masalah perilaku ekonomi manusia dalam posisi manusia atas sumber material yang di ciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri untuk konsumsi dan produksi namu tidak memberikan hak itu secara Absolut. Al-Qur’an dengan jelas mengkritik tindakan merusak tanaman, tanaman dan tenaga kerja. Konsep islam adalah membahas tentang kepemilikan mengenai barang konsumsi dan alat-alat produksi.[3]
Hubungan hal tersebut digambarkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. ,menurut beberapa ayat tersebut di atas, menunjukkan bahwa manusia adalah wakila Allah di muka bumidan di anjurkan untuk menguasai sumber-sumber ekonomi sebagai suatu kepercayaan Karena kasih sayang Allah. Kepemilikan adalah suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang di syahkan syariah. Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik. Sehingga ia mempunyai hal menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah. Menurut hukum dasar, yang namanya harta, syah di miliki, kecuali harta-harta yang telah di siapkan untuk kepentingan umum, misalnya wakaf dan fasilitas umum.
C.    Pandangan Islam terhadap Kepemilikan
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
“Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيه
“Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…”
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “pada mulanya” masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara’ yang tertuang dalam al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ sahabat dan al-Qiyas.[4] Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid al-’ammah al-iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:
1. kepemilikan (al-milkiyyah),
2. mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
3. distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi’ al-tharwah bayna al-nas).
D. Jenis-Jenis Kepemilikan
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu:
1. kepemilikan sempurna (tamm)
2. kepemilikan kurang (naaqis).
Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara’ yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.[5]
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu:
(1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan yaitu barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
(2) akad,
(3) penggantian dan
(4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.

E. Sebab-Sebab Kepemilikan Dalam Islam
Kepemilikan yang sah menurut islam adalah kepemilikan yang terlahir dari proses yang disahkan syari’ah. Kepemilikan menurut pandangan Fiqh islam terjadi karena menjaga hak umum, transaksi pemindahan hak dan penggantian posisi kepemilikan. Menurut Taqyudin an-Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab kepemilikan atas suatu barang dapat diperoleh melalui lima sebab yaitu:
(1) Bekerja
(2) Warisan
(3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
(4) Harta pemberian Negara yang di berikan kepada rakyat.
(5) Harta yang di peroleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun
F. Klasifikasi Kepemilikan Dalam Islam
1. Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property)
Kepemilikan pribadi adalah hukum shara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya–baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi–dari barang tersebut.
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dll adalah meriupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak kepemilikan individual.
Karena kepemilikan merupakan izin al-shari’ untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh al-shari’ serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari’ untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi, ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.[6]
Pembatasan Penggunaan Hak Milik Pribadi Dalam Islam :
Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan merupaka hal yang fitri, bahkan merupakan suatu keharusan. Hanya saja dalam mencari kekayaan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya. Sebab cara demikian itu akan menyebabkan gejolak dan kekacauan, bahkan kerusakan dan kenestapaan. Oleh karena itu, cara memperoleh kekayaan tersebut harus dibatasi dengan mekanisme tertentu, yang mencerminkan kesederhanaan yang dapat dijangkau oleh semua orang sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan fitrahnya, dimana kebutuhan primer mereka dapat dipenuhi,berikut kemungkinan mereka dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dengan kata lain, kepemilikan harus ditentukan dengan mekanisme tertentu. Karena membatasi kepemilikan seseorang akan menyebabkan pelanggaran terhadap fitrah manusia.
Batasan kepemilikan ini nampak pada sebab-sebab kepemilikan yang telah disyariatkan, dimana dengan sebab-sebab tersebut hak milik seseorang bias diakui. Ketika islam membatasi suatu kepemilikan islam tidak membatasinya dengan cara perampasan, melainkan dengan menggunakan mekanisme yang sesuai dengan fitrah. Adapun pembatasan kepemilikan dengan menggunakan mekanisme tertentu itu Nampak pada beberapa hal berikut:
(1) Dengan cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak milik.
(2) Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.
(3) Dengan cara menyerahkan kharafiyah sebagai milik Negara, bukan sebagai individu.
Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
(4) Dengan cara mensuplai orang yang memiliki keterbatasan factor produksi, sehingga bias memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-’ammah/ public property)
Kepemilikan umum adalah izin al-shari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari’ sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya. Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu:
1.Fasilitas Dan Sarana Umum
Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana umum:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
“Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api”
Air yang dimaksudkan dalam hadith di atas adalah air yang masih belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut. Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu bakar.
Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dan jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena adanya indikasi al-shari’ yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang terdapat didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.
2. Sumber Alam Yang Tabiat Pembentukannya Menghalangi Dimiliki Oleh Individu Secara Perorangan
Meski sama-sama sebagai sarana umum sebagaimana kepemilikan umum jenis pertama, akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Jika kepemilikan jenis pertama, tabiat dan asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini, secara tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Sebagaimana hadits nabi:
مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ
“Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai kepadanya)”
Mina adalah sebuah nama tempat yang terletak di luar kota Makkah al-Mukarramah sebagai tempat singgah jama’ah haji setelah menyelesaikan wukuf di padang Arafah dengan tujuan meleksanakan syiar ibadah haji yang waktunya sudah ditentukan, seperti melempar jumrah, menyembelih hewan hadd, memotong qurban, dan bermalam di sana. Makna “munakh man sabaq” (tempat mukim orang yang lebih dahulu sampai) dalam lafad hadith tersebut adalah bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum muslimin. Barang siapa yang lebih dahilu sampai di bagian tempat di Mina dan ia menempatinya, maka bagian itu adalah bagiannya dan bukan merupakan milik perorangan sehingga orang lain tidak boleh memilikinya (menempatinya).[7]
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.
3.Barang Tambang Yang Depositnya Tidak Terbatas
Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadith nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma’rab:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْه
“Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir”. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya”
Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja, melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya di bayt al-Mal.
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.
3.Kepemilikan Negara (Milkiyyat Al-Dawlah/ State Private)
Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-’ammah/public property) namun terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah).
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari’ dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
(1) Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay’ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus
(2) Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
(3) Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
(4) Harta yang berasal dari daribah (pajak)
(5) Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
(6) Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
(7) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
(8) Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara’
(9) Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.


[1] Abdullah Abdul Husein at-Tariqi. Ekonomi Islam, prinsip, dasar, dan tujuan. Yogyakarta: Magistra Insani Press.2004. hal 40
[2] Ibid. hal 51
[3] DR. Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, GIP, 1997, JKT. hal 22
[4] Drs. Muhammad, M.Ag, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE-Jogjakarta, 2004, Jogjakarta. hal 69
[5] Ibid. hal 90
[6] An Nababan Faruq. Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Pres. 2000. Hal  105- 107
[7] Ibid. hal 123

6 komentar:

Annisa Janissaries mengatakan...

Jazakillah postingannya, ukh.. 😊

Unknown mengatakan...

Hukum kepemilikannnya dlm agam islam ap kk?
Wajib atau sunnah

Unknown mengatakan...

Hukum kepemilikannnya dlm agam islam ap kk?
Wajib atau sunnah

Unknown mengatakan...

Kepemilikan itu hukumnya wajib. Sesuai dengan hadist yang disampaikan sahabat Abi Hurairah ra.

Unknown mengatakan...

tolong di cantumkan juga fatwa ulama' indoneia dan asas hukum nya

Unknown mengatakan...

tolong di cantumkan juga fatwa ulama' indoneia dan asas hukum nya

Posting Komentar