KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
A.
Pengertian
Kepemilikan
“Kepemilikan” sebenarnya berasal
dari bahasa Arab dari akar kata “malaka” yang artinya memiliki. Dalam bahasa
Arab “milk” berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan
barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki
sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia
dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu
secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari
memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.[1]
Dalam istilah kepemilikan berarti
pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan hartanya yang
dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak)
yang menguasainya.
Para fukoha memberikan
batasan-batasan syar’i “kepemilikan” dengan berbagai ungkapan yang memiliki
inti pengertian yang sama.
Di antara yang paling terkenal adalah definisi
kepemilikan yang mengatakan bahwa “milik” adalah hubungan khusus seseorang
dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan
ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan
legal yang menghalanginya.
a. Pembagian Harta
1. Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihak milikan kepada
orang lain
Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihakmilikan kepada
orang lain adalh setiap harta milik umum seperti jalanan, jembatan, sungai dll.
dimana harta/barang tersebut untuk keperluan umum.
2. Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali dengan ketentuan
syari’ah
Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali dengan ketentuan
syari’ah Seperti harta wakaf, harta baitul mal dll. Maka harta wakaf tidak bisa
dijual atau dihibahkan kecuali dalam kondisi tertentu seperti mudah rusak
ataupun biaya pengurusannya lebih besar nilai hartanya
3. Harta yang dapat dimiliki dan dihak milikan kepada orang
lain yaitu harta selain yang termasuk dalam kategori harta yang tersebut diatas
b. Karakteristik Hak Manfaat Atau
Pemanfaatan Atas Sesuatu Harta
1. Kepemilikan tidak sempurna dapat dibatasi dengan waktu,
tempat ataupun persyaratan tertentu ketika memualai kepemilikannya
2. Tidak dapat diwariskan menurut hanafiah sedangkan menurut
jumhul ulama boleh diwariskan
3. Bagi pemilik manfaat (pengguna)dapat menerima harta yang
hendak digunakan secara utuh dan ia wajib menjaga penuh segala sesuatu yang
berhubungan dengan harta tersebut. Maka baginya tidak wajib menggantinya
kecuali kalau kerusakan tersebut disebabkan olehnya.[2]
4. Segala pengeluaran yang diperlukan oleh pemakaian harta
tersebut ditanggung pengguna apabila dalam setatus peminjaman, adapun apabila
dalam status sewa maka pemilik resmi harta tersebut yang harus menggantinya.
5. Setelah pemakaian harta tersebut, pihak pemakai harus
segera mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya, kecuali kalau ada
sesuatu hal berkenaan dengan tuntutan pemilik resmi berkenaan kerugian yang
diterima pada hartanya
B. Konsep
Dasar Kepemilikan
Prinsip dasar yang tercantum dalam
Al-Qur’an dan Al-hadist sangat memperhatikan masalah perilaku ekonomi manusia
dalam posisi manusia atas sumber material yang di ciptakan Allah untuk manusia.
Islam mengakui hak manusia untuk memiliki sendiri untuk konsumsi dan produksi
namu tidak memberikan hak itu secara Absolut. Al-Qur’an dengan jelas mengkritik
tindakan merusak tanaman, tanaman dan tenaga kerja. Konsep islam adalah
membahas tentang kepemilikan mengenai barang konsumsi dan alat-alat produksi.[3]
Hubungan hal tersebut digambarkan
dengan ayat-ayat Al-Qur’an. ,menurut beberapa ayat tersebut di atas,
menunjukkan bahwa manusia adalah wakila Allah di muka bumidan di anjurkan untuk
menguasai sumber-sumber ekonomi sebagai suatu kepercayaan Karena kasih sayang
Allah. Kepemilikan adalah suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang di
syahkan syariah. Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si
pemilik. Sehingga ia mempunyai hal menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran
pada garis-garis syariah. Menurut hukum dasar, yang namanya harta, syah di
miliki, kecuali harta-harta yang telah di siapkan untuk kepentingan umum,
misalnya wakaf dan fasilitas umum.
C.
Pandangan
Islam terhadap Kepemilikan
Islam mencakup sekumpulan prinsip
dan doktrin yang memedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan
dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya
agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan
mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِير
“Kepunyaan
Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia
menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيه
“Berimanlah
kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah
telah menjadikan kamu menguasainya…”
Seseorang yang telah beruntung
memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk
disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah
SWT), baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah
telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama.
Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “pada mulanya” masyarakatlah yang
berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah
menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang
mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Sehingga sebuah kepemilikan atas
harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan
izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan
atas suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara’ yang
tertuang dalam al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ sahabat dan al-Qiyas.[4]
Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal
yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan
mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di
tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas
dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam,
dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid al-’ammah al-iqtisadi
al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:
1. kepemilikan (al-milkiyyah),
2. mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi
al-mal) dan
3. distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi’
al-tharwah bayna al-nas).
D. Jenis-Jenis Kepemilikan
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua
yaitu:
1. kepemilikan sempurna (tamm)
2. kepemilikan kurang (naaqis).
Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa
manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan
memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya.
Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga
manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki
substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan
memiliki konsekuensi syara’ yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah
seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.[5]
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam
syariah ada empat macam yaitu:
(1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan yaitu barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
(1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan yaitu barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
(2) akad,
(3) penggantian dan
(4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.
E. Sebab-Sebab Kepemilikan Dalam
Islam
Kepemilikan yang sah menurut islam adalah kepemilikan yang
terlahir dari proses yang disahkan syari’ah. Kepemilikan menurut pandangan Fiqh
islam terjadi karena menjaga hak umum, transaksi pemindahan hak dan penggantian
posisi kepemilikan. Menurut Taqyudin an-Nabani dikatakan bahwa sebab-sebab
kepemilikan atas suatu barang dapat diperoleh melalui lima sebab yaitu:
(1) Bekerja
(1) Bekerja
(2) Warisan
(3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
(4) Harta pemberian Negara yang di berikan kepada rakyat.
(5) Harta yang di peroleh oleh seseorang dengan tanpa
mengeluarkan harta atau tenaga apapun
F. Klasifikasi Kepemilikan Dalam
Islam
1. Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private
property)
Kepemilikan pribadi adalah hukum
shara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya
untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya–baik karena
diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena
dikonsumsi–dari barang tersebut.
Adanya wewenang kepada manusia untuk
membelanjakan, menafkahkan dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta
yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dll
adalah meriupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak kepemilikan
individual.
Karena kepemilikan merupakan izin
al-shari’ untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda
tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya,
semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang
diberikan oleh al-shari’ serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari’
untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan
minuman keras, babi, ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya
kepemilikan atas benda tersebut.[6]
Pembatasan Penggunaan Hak Milik
Pribadi Dalam Islam :
Usaha manusia untuk memperoleh
kekayaan merupaka hal yang fitri, bahkan merupakan suatu keharusan. Hanya saja
dalam mencari kekayaan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar
dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya
dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya. Sebab cara
demikian itu akan menyebabkan gejolak dan kekacauan, bahkan kerusakan dan
kenestapaan. Oleh karena itu, cara memperoleh kekayaan tersebut harus dibatasi
dengan mekanisme tertentu, yang mencerminkan kesederhanaan yang dapat dijangkau
oleh semua orang sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan fitrahnya, dimana
kebutuhan primer mereka dapat dipenuhi,berikut kemungkinan mereka dapat
memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dengan kata lain, kepemilikan harus
ditentukan dengan mekanisme tertentu. Karena membatasi kepemilikan seseorang
akan menyebabkan pelanggaran terhadap fitrah manusia.
Batasan kepemilikan ini nampak pada
sebab-sebab kepemilikan yang telah disyariatkan, dimana dengan sebab-sebab
tersebut hak milik seseorang bias diakui. Ketika islam membatasi suatu
kepemilikan islam tidak membatasinya dengan cara perampasan, melainkan dengan
menggunakan mekanisme yang sesuai dengan fitrah. Adapun pembatasan kepemilikan
dengan menggunakan mekanisme tertentu itu Nampak pada beberapa hal berikut:
(1) Dengan cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara
memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta
kekayaan yang telah menjadi hak milik.
(2) Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.
(2) Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.
(3) Dengan cara menyerahkan kharafiyah sebagai milik Negara,
bukan sebagai individu.
Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum
secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
(4) Dengan cara mensuplai orang yang memiliki keterbatasan
factor produksi, sehingga bias memenuhi kebutuhannya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ada.
2. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat
al-’ammah/ public property)
Kepemilikan umum adalah izin
al-shari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda,
Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah
benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari’ sebagai benda-benda yang
dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya
seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya
namun dilarang memilikinya. Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke
dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu:
1.Fasilitas Dan Sarana Umum
1.Fasilitas Dan Sarana Umum
Benda ini tergolong ke dalam jenis
kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak
terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Jenis harta ini
dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana umum:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ
فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
“Manusia
berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api”
Air yang dimaksudkan dalam hadith di
atas adalah air yang masih belum diambil, baik yang keluar dari mata air,
sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh
perorangan di rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air
sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut.
Adapun al-kala’ adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-khala)
maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran
sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah bahan
bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah
kayu bakar.
Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya
terbatas pada tiga macam benda tersebut saja melainkan juga mencakup segala
sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dan jika tidak terpenuhi, dapat
menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena adanya
indikasi al-shari’ yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda
tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang
terdapat didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.
2. Sumber Alam Yang Tabiat Pembentukannya Menghalangi
Dimiliki Oleh Individu Secara Perorangan
Meski sama-sama sebagai sarana umum
sebagaimana kepemilikan umum jenis pertama, akan tetapi terdapat perbedaan
antara keduanya. Jika kepemilikan jenis pertama, tabiat dan asal pembentukannya
tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini, secara
tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk memilikinya secara
pribadi. Sebagaimana hadits nabi:
مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ
“Kota
Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai kepadanya)”
Mina adalah sebuah nama tempat yang
terletak di luar kota Makkah al-Mukarramah sebagai tempat singgah jama’ah haji
setelah menyelesaikan wukuf di padang Arafah dengan tujuan meleksanakan syiar
ibadah haji yang waktunya sudah ditentukan, seperti melempar jumrah,
menyembelih hewan hadd, memotong qurban, dan bermalam di sana. Makna “munakh
man sabaq” (tempat mukim orang yang lebih dahulu sampai) dalam lafad hadith
tersebut adalah bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum muslimin. Barang siapa
yang lebih dahilu sampai di bagian tempat di Mina dan ia menempatinya, maka
bagian itu adalah bagiannya dan bukan merupakan milik perorangan sehingga orang
lain tidak boleh memilikinya (menempatinya).[7]
Demikian juga jalan umum, manusia
berhak lalu lalang di atasnya. Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat
merugikan orang lain yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal
tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta
api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan
pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu
sendiri sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.
3.Barang Tambang Yang Depositnya Tidak Terbatas
Dalil yang digunakan dasar untuk
jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadith nabi riwayat Abu
Dawud tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan
mengelola tambang garam di daerah Ma’rab:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَهُ لَهُ
فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ
إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْه
“Bahwa
ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun
memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada
beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya
engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir”. Lalu ia berkata:
Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya”
Larangan tersebut tidak hanya
terbatas pada tambang garam saja, melainkan meliputi seluruh barang tambang
yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini
juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan
bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi
seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya.
Barang tambang semacam ini menjadi
milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang.
Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang
atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi pewnguasa wajib
membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib
menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan
hasilnya di bayt al-Mal.
Sedangkan barang tambang yang
depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh
perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi yang
mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang yang
sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus
(seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.
3.Kepemilikan Negara (Milkiyyat
Al-Dawlah/ State Private)
Kepemilikan Negara adalah harta yang
merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi
wewenang khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau
mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya.
Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki
khalifah untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara ini meliputi
semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik
umum (al-milkiyyat al-’ammah/public property) namun terkadang bisa tergolong
dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah).
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari’ dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari’ dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
(1) Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari
rampasan perang dengan orang kafir), fay’ (harta yang diperoleh dari musuh
tanpa peperangan) dan khumus
(2) Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas
tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
(3) Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah
kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
(4) Harta yang berasal dari daribah (pajak)
(5) Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang
diambil pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan
yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
(6) Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta
dari sisa waris (amwal al-fadla)
(7) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
(7) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
(8) Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa,
pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara’
(9) Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung,
pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.
6 komentar:
Jazakillah postingannya, ukh.. 😊
Hukum kepemilikannnya dlm agam islam ap kk?
Wajib atau sunnah
Hukum kepemilikannnya dlm agam islam ap kk?
Wajib atau sunnah
Kepemilikan itu hukumnya wajib. Sesuai dengan hadist yang disampaikan sahabat Abi Hurairah ra.
tolong di cantumkan juga fatwa ulama' indoneia dan asas hukum nya
tolong di cantumkan juga fatwa ulama' indoneia dan asas hukum nya
Posting Komentar