RSS
Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 06 November 2013

Cerita Santri


Di Jawa ada Kiyahi namanya Kiyai Hasan, daerah Kraksan. Beliau itu termasuk wali Allah yang luar biasa. Kalau beliau mau kedatangan Ahli Bait, keturunan nabi, Habib, beliau lari menjemput sambil berkata ada raihatul musthafa, ada bau harum badan Rasulullah Saw. Padahal kuturunan nabi itu entah baru sampai dimana.

Diantara Karamahnya. Suatu ketika, saat ada seorang haji menyewa mobil, kebetulan yang jadi sopirnya Ahli Bait (Habib/Syarif). Cuma haji ini tidak tahu kalau itu adalah Ahli Bait. Kiayi Hasan bilang sama anak-anaknya: tolong kamar tidur dirapikan kita mau kedatangan Habib. Habibnya siapa? Tanya putra kiyahi Hasan. Nanti saya tunjukan kalau sudah datang, jawab kiyahi itu.

Setelah haji itu tiba dirumah kiyahi Hasan, kiyahi Hasan bertanya pada haji itu, Haji supirmu dimana? Sopir kula asaren kiyai, Sopir saya tidur Kiyai, Jawab Haji. Kiyahi balik bertanya, e'ka'emmah (dimana)? Di Mobil Kiyahi, jawab Haji. Saya mau dekati dia boleh ya, kiyahi meminta ijin.

Yi tangi Yi' (Habib bangun Bib). Sopir itu kaget, karena seumur-umur tidak ada yang manggil Ayi', atau Habib. Akhirnya dikenal dengan bangsa al Jufri. Kiyahi Hasan ditanya: darimana tahu sopir itu Habib? Dari bau keringatnya, bau keringat kangjeng Nabi, kata kiyai Hasan.

Itu hebatnya ulama-ulama kita dahulu, sejauh itu pandangannya, dari hormatnya pada Ahli Bait Nabi. Dan tokoh-tokoh itu bukan satu dua, Imam Subki, Qadhi Iyadh tahu bagaimana kedudukan Ahli Bait an Nabi dan juga ulama-ulama lain, ujar Al Habib M. Lutfi bin Ali Yahya.
 “Kang, tolong pohon Kristen di samping masjid itu ditebang?” pinta Kiai Bakar pada seorang santri.

Santri yang disuruh bingung, tengok kanan tengok kiri. “Pohon Kristen? Apa maksudnya? Lagian itu pohon kesayangan Kiai Ahmad. Beliau sendiri yang nanem tiga tahun lalu,” gumam santri dalam hati.

“Iya, pohon cemara itu. Tebang segera. Iku pohon Kristen!” tukas kiai bakar lebih tegas.

Setelah mengulangi perintahnya, sang kiai melangkah menuju rumah. Sementara si santri diam sesaat, pandangan matanya ke atas, menelusuri pohon cemara. “Sebelum nebang cemara itu, aku harus minta izin Kiai Ahmad.”

“Punten Kiai. Kulo disuruh Kiai Bakar nebang Cemara. Pripun?” kata santri pada Kiai Ahmad.

“Hah? Cemarku ditebang. Wit-witan apik ngono arep ditebang? Kenapa?” Kiai Ahmad kaget.

“Nganu Kiai. Kulo disuruh Kiai Bakar. Katanya pohon cemara itu pohon Kristen,” ujar santri.

“Hah? Pohon Kristen?? Ada-ada saja Kiai Bakar itu, wit-witan nganggo agomo mbarang. Pohon Kristen lagi, ngga ono iku. KTP saja tidak punya kok. Gak usah ditebang. Nanti saya jelasin ke Kiai Bakar. (hs)
JIN
Tak banyak yang tahu bahwa seorang kiyai yang begitu tawadlu’, lemah-lembut serta halus tutur-kata seperti Kiyai Muslih Zuhdi rahimahullah, sesungguhnya seorang sakti mandraguna. Beliau memiliki segudang ilmu simpanan, diantarannya adalah ajian “Sampar Angin”, suatu kesaktian yang dapat membuat orang mampu bergerak amat cepat tanpa kendaraan. Puluhan kilo dijangkah hanya dalam hitungan menit.

Gus Mus beruntung dipercaya menerima ijazah ajian gawat itu.

“Terimalah ijazah ini, tapi…”, Kiyai Muslih buru-buru menambahkan, “jangan diamalkan!”

Gus Mus melongo. Jadi ini termasuk ilmu yang nggak boleh diamalkan?

“Karena, bekerjanya ajian ini dengan memperalat jin. Tak baik memperalat jin”.

* * * *

Pada masa-masa akhir mondok di Krapyak, setelah bertahun-tahun merengek, saya diijinkan membawa Vespa PS 150 E yang keburu tua. Dengan Vespa itu saya keluyuran dan pulang-pergi Yogya-Rembang tiap liburan. Mas Syafi’ Muslih, salah seorang putera Kiyai Muslih Zuhdi, membonceng saya pulang suatu kali.

Menyadari ketuaan Vespa itu dan bahwa jalanan di musim hujan tidaklah terlalu aman, saya tak berani ngebut. Berangkat waktu dluha dari Yogya, menjelang maghrib baru sampai di Pati. Dasar sudah tua, Vespa itu mogok. Biasanya, hanya dengan digosok-gosok amplas businya, Vespa itu bisa waras. Tapi kali ini tidak. Bahkan busi baru yang sengaja saya anggarkan tak mempan.

Keringat saya sudah lebih deras dari gerimis dan kaki sudah ngilu ketika akhirnya Vespa sialan itu hidup dengan genjotan histeris berulang-ulang pada pedal starternya. Maghrib sudah lewat.

“Ayo cepat, Mas!” saya gugup kuatir mati lagi.

Mas Syafi’ buru-buru lompat ke boncengan dan saya geber Vespa itu seperti memperkosa keledai. Suara mesinnya sungguh terdengar merana.

Apa lacur, tepat di tugu batas kota Rembang, Vespa itu mogok lagi seperti onta menggeloso kecapaian. Untungnya, tepat di tepi jalan itu jugalah rumah Mbah Masrur, salah seorang kerabat kami. Mbah Warni, isterinya, melongok dari balik rak toko kelontong miliknya.

“Kamu, Ya?”

“Nggih, Mbah”.

“Lha embahmu ini tadi malah berangkat ke Leteh”. Maksudnya, Mbah Masrur justru pergi ke rumah saya, sekitar dua kilo dari situ.

Beberapa jurus kemudian Mbah Masrur datang dengan Suzuki Carry, mobil dinas ayah saya yang waktu itu jadi Wakil Ketua DPRD Rembang.

“Lho! Kok sudah disini?” kata Mbah Masrur, “baru saja mau kususul ke Pati”.

Saya bingung.

“Kok tahu, Mbah?”

“Dikasih tahu Aminah”.

Mbah Masrur lantas menjelaskan bahwa ia punya jin perempuan bernama Aminah. Habis salat maghrib tadi, Aminah mengabarinya,

“Cucumu Vespanya mogok di Pati”.

“Lha mbok kamu tolong!”

Jadi, dari Pati sampai ke depan rumah Mbah Masrur, Aminah mendorong.

“Tahu begitu, persnelengnya aku nolkan tadi…,” kataku, membayangkan betapa capeknya Aminah mendorong Vespa yang nyaris terus-menerus kupasang gigi satu.

“Tahu begitu, aku nggak mau mbonceng!” kata Mas Syafi’ sambil mengelus-elus tengkuknya.

* * * *

Diundang oleh seorang santri kinasih pada suatu walimah, Mbah Kiyai Misbah Mustofa rahimahullah sengaja datang satu-dua hari sebelum waktunya. Masyarakat sekitar pun lantas berbondong-bondong ngalap berkah kepada Mbah Misbah di rumah santri itu. Dari mereka, Mbah Misbah memperoleh cerita bahwa di daerah itu juga ada seorang wali yang khoriqul ‘aadah. Mbah Fulan, wali itu, nyaris tak pernah kelihatan keluar rumah. Sholat Jum’at pun tidak di masjid kampung, tapi di Makkah. Masyarakat sekitar menyaksikan karomah Mbah Fulan yang luar biasa, terutama dalam urusan pengobatan berbagai penyakit. Konon, Syaikh Abdul Qodir Jailani mengunjungi Mbah Fulan setiap hari. Kisah kehebatan Mbah Fulan membuat Mbah Misbah amat tertarik sehingga menyempatkan diri datang sendiri ke rumahnya, untuk membuktikan tanda-tanda kewaliannya.

Giliran memberikan mau’idhoh hasanah pada walimah santrinya, Mbah Misbah membicarakan Mbah Fulan,

“Dia itu bukan wali, tapi tukang sihir!” Mbah Misbah membuat hadirin terkejut, “Syaikh Abdul Qodir Jailani itu ada dua. Yang pertama adalah Asy Syaikh Abdul Qodir Al Jailani Al Baghdadi min dzurriyyati Rasuulillah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, Sang Wali Quthub, pemimpin thoriqoh Qodiriyyah, yang kedua adalah Syaikh Abdul Qodir Jailani raja jin Alas Roban (Pekalongan). Yang kedua itulah yang tiap hari mendatangai Si Fulan!”
Humor adalah salah satu jendela untuk melongok kondisi dan budaya masyarakat.

Diantara yang paling terkenal dari humor-humor Rusia era Soviet adalah kisah tentang sebuah keluarga yang menggigil ketakutan ketika ada yang mengetuk pintu malam-malam.

“Siapa?” si empunya rumah bertanya dengan gemetar.

“Malaikat Maut!”

Seisi rumah pun lega luar biasa.

“Syukurlah!” pintu dibukakan dengan riang, “kami kira KGB…”

KGB –seperti kita ketahui—adalah dinas rahasia milik Pemerintah Uni Soviet yang amat terkenal kekejamannya.

Di Inggris pada masa-masa menjelang Perang Dunia II, berlangsung kompetisi politik yang panas. Winston Churchill dari Partai Konserfatif ngotot dengan “peran Pemerintah untuk menjamin pasar bebas“. Sedangkan lawannya dari Partai Buruh yang liberal, Clement Atlee, menggembar-gemborkan nasionalisasi industri besar.

Maka lahirlah sebuah humor. Suatu ketika, di sela-sela perdebatan yang panas di parlemen, Churchill bersirobok dengan Atlee di toilet dan terpaksa harus pipis bersebelahan. Ditengah “kegiatan bersama” itu, Atlee kedapatan melirik-lirik ke arah Churchil agak kebawah sedikit. Churchill pun berang,

“Jangan melirik-lirik!” bentaknya, dilanjutkan dengan gerutuan, “kamu ini sukanya menasionalisasi yang besar-besar….”

Gus Dur pernah menciptakan –atau mengadaptasi—sebuah humor era Soeharto. Alkisah, Soeharto hanyut di sungai sampai hampir mati tenggelam. Seorang tukang mancing menolongnya. Dan Soeharto pun amat sangat berterimakasih.

“Mintalah apa saja, aku akan memberimu”.

“Sudahlah. Aku tak punya pamrih apa-apa”, tukang mancing itu ternyata ikhlas sekali.

“Mintalah! Aku pasti bisa memenuhinya!”

“Jangan sombong. Kamu bukan Tuhan!”

“Tahukah kau, siapa aku?”

“Memangnya kamu siapa?”

“Aku ini Soeharto. Presiden Republik Indonesia!”

Tukang mancing mendadak ketakutan. Gemetaran ia tengok kiri-kanan.

“Sssttt…” akhirnya ia berbisik dengan khawatir sekali, “jangan bilang siapa-siapa kalau aku yang menolongmu ya…”

Para pemerhati dagelan tradisional Jawa tentu bisa menandai perbedaan gaya antara ludruk (Jawa Timur) dan dagelan Mataram (Yogya) yang mencerminkan perbedaan budaya. Ludruk cenderung blak-blakan dan egaliter, dagelan Mataram penuh sindiran dan “hirarkis”.

Kartolo terang-terangan meledek Mariyam alias Karjo AC-DC,

“Wong wédok gêdhéné sak buto!” (Perempuan segede raksasa!)

“Sing dadi lak dudu gêdhéné sé, Lo!” (Yang berlaku ‘kan bukan besarnya, Lo!) Jawab Mariyam.

“Lha… apané?”

“Solahé!” (Solah-bawanya!)

Lain halnya Basiyo, yang meledek lawan mainnya dengan sindiran,

“Kulá niku butuh indhên… grobak kulá tugêl. Gandhèng pun mbotên wontên sing dodol… sampéyan mawon nápá? Samang’ niku seminggu rak dèrèng putung tá?” (Saya ini butuh pasak as roda [indhên]… gerobak saya patah. Karena sudah nggak ada yang jualan… bagaimana kalau sampeyan saja? Sampeyan itu seminggu ‘gitu belum patah ‘kan?)

Ledekan itu diungkapkan dengan krámá inggil (bahasa Jawa halus).

Dalam konteks kejendelaan itulah, saya kira, buku “Guyon Bareng Cak Jahlun” ini hadir. Tema-tema yang diangkat dalam kisah-kisah humornya menggambarkan kehidupan pesantren yang –karena keunikannya—oleh Gus Dur dijelaskan dengan terma “subkultur”. Jarak antara gaya hidup di lingkungan pesantren dengan arus utama gaya hidup masyarakat pada umumnya, sudah menjadi sumber inspirasi humor yang tak ada habis-habisnya. Dalam buku ini bertebaran kisah-kisah lucu tentang kesalahpahaman santri baru terhadap hal-hal yang khas pesantren, dan sebaliknya, “salipan” antara logika pesantren dan “logika populer”. Kesenjangan-kesenjangan semacam itu selama ini menjadi modal utama para pelawak untuk mengocok perut audiensnya.

Lebih menarik lagi, dalam buku ini kita temui pula jejak-jejak satu unsur utama dalam pola pikir pesantren, yaitu permainan logika itu sendiri. Lihatlah, misalnya, dialog antara Cak Jahlun yang memeriksakan diri karena terkena muntaber dengan dokternya:

“Buang air besarnya bagaimana?” tanya dokter.

“Seperti biasa, Dok: jongkok!”

Itu adalah jawaban yang sangat logis. Bahwa itu bukan jawaban yang diharapkan Pak Dokter, “logika pertanyaan” Pak Dokter-lah yang tidak tepat.

Dari mana asal-usul permainan logika itu?

Saya kira dari salah satu mata pelajaran utama di pesantren, yaitu nahwu-shorof (gramatika bahasa Arab). Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat rigid dengan logika. Sebagian ahli menuduh Imam Syafi’i dalam menyusun ushul fiqihnya dipengaruhi oleh logika Aristotelian. Padahal belum tentu begitu. Basis logika yang kuat dalam ijtihad Iman Syafi’i saya kira lebih dipengaruhi keahlian beliau dalam bahasa Arab. Berbagai riwayat menyebutkan bahwa beliau telah menjadi salah seorang yang paling ahli dalam bahasa dan sastra Arab pada jamannya, sejak sebelum beliau mendalami fiqih syari’at itu sendiri. Cara berpikir serba logika itulah yang kemudian tertransmisi kedalam dunia pesantren, baik melalui pengajaran bahasa Arab maupun karya-karya fiqih dari madzhab Syafi’i.

Diatas segalanya, nama “Cak Jahlun” sebagai tokoh utama buku ini dipilih dengan cerdik sekali. Saya menduga, pilihan itu ditetapkan melalui suatu pemikiran yang mendalam. “Jahlun” (bahasa Arab) artinya “bodoh”. Ini mewakili etos kependidikan di Pesantren: bahwa menuntut ilmu itu harus diniyati untuk “menghilangkan kebodohan”, persis berbarengan dengan kesadaran bahwa kebodohan itu tidak mungkin hilang karena, semakin orang bertambah ilmunya, maka semakin ia merasa bodoh. Kontradiksi filosofis dalam etos ini mendalam sekali maknanya, sebagaimana berbagai kontradiksi lain yang menjadi “soko-guru” dalam ajaran tasawwuf: ikhtiar-takdir, roja’-khouf, ni’mat-mushibah, shabar-syukur, dan seterusnya.

Akhirul kalam, selamat membaca, selamat belajar, selamat berjuang menghilangkan kebodohan untuk menjadi lebih bodoh lagi, dan… selamat tertawa!
Kiyai Fattah itu sosok yang alim, enerjik, disiplin, dan sangat perhatian pada santri. Demikian menurut penuturan Gus Dur, kiyai Masruri Mughni (Brebes), kiyai Djamaluddin Ahmad (Jombang), kiyai Yusuf Mashar (Lamongan), kiyai Nur Cholis Baqir (Probolinggo), dan beberapa santrinya yang lain.

Setiap jam 3 malam, beliau keliling kamar-kamar untuk membangunkan para santri. Satu persatu. Dengan berpakaian dinas (sarung baju, surban, dan menyelempangkan sajadah) dikeilinginya semua gotha’an. Tangan kirinya memegang gayung yang berisi air. Sampai gotha’an terakhir, sang kiyai balik lagi. Satu dua santri ada yang mbalelo, tak kunjung bangun. Kadang juga jengkel atas ulah santri-santri mbalelo ini. Segera diambilnya air wudlu -untuk mengatasi amarahnya- kemudian melanjutkan “peran ibu” terhadap anak didiknya.

Waktu shubuh, beliau berjama’ah dengan para santrinya. Dilanjutkan dengan pengajian. Disusul kemudian pada jam 07.00 pagi, kegiatan rutin mengajar di Madrasah Mua’llimin-Mu’allimat. Sebelum jam pelajaran dimulai, beliau sudah datang di Madrasah untuk mengontrol sarana madrasah, sekaligus mengabsen kedatangan para guru. Jangan sampai ada yang terlambat.

Diluar itu beliau terjun ke desa-desa. Memberi pengajian rutin seminggu sekali. Jadwalnya juga cukup padat. Setiap hari ada jam untuk membina masyarakat di pedesaan. Walau hari hujan, beliau tidak pernah absen. Pendek kata, semua waktu dan tenaganya dicurahkan untuk umat.

“ini memang menjadi ciri khas kiyai,” kata Drs. Saifullah Yusuf. “Saking perhatiannya terhadap santri dan umat, sampai lupa anak istri, sehingga kiyai kawin lagi,” sambungnya disambut gerrrrr para hadirin. “Tapi kiyai Fattah bukan termasuk tipe yang ini !” buru-buru ia menambahkan.
"Ke Nggading berapa, Kang?" Mbah Zainal Abidin Munawwir, Krapyak, menawar becak.

"Monggo mawon. Terserah panjenengan, Mbah", tukang becak pasrah karena sudah kenal.

"Nggak bisa! Sampeyan harus kasih harga!"

"Yah... seribu, Mbah". Itu harga yang cukup lazim waktu itu, walaupun sedikit agak mahal.

"Lima ratus ya!"

Tukang becak nyengir,

"Masih kurang, Mbah..."

"Enam ratus!"

Tukang becak masih nyengir.

"Ya sudah... tujuh ratus!"

Tukang becak sungkan membantah lagi dan mempersilahkan Mbah Zainal naik.

Sampai tempat tujuan, Mbah Zainal mengulurkan selembar uang ribuan tapi menolak kembaliannya. Tukang becak bengong.

"Kalau tadi kita sepakat seribu, aku cuma dapat pahala wajib", kata Mbah Zainal, "kalau begini ini 'kan yang tiga ratus jadi shodaqohku".

Demak tergolong daerah kering. Bahkan air untuk kebutuhan sehari-hari pun bukan perkara mudah. Tidak heran, warga kemudian memanfaatkan kanal irigasi sepanjang tepian jalan raya untuk memenuhi segala kebutuhan mereka akan air. Kalau kau bepergian melewati kawasan itu, akan kau lihat di tepi sebelah Utara jalan orang-orang sibuk dengan bermacam kegiatan di kanal, mulai dari buang hajat sampai dengan mencuci beras sebelum ditanak.

Seusai mengikuti suatu kegiatan Nahdlatul Ulama di Semarang, rombongan kyai Rembang dalam satu mobil dalam perjalanan pulang. Diantara mereka adalah Mbah Kyai Ahmad Syahid bin Sholihun rahimahullah dari Desa Kemadu, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang.

Melewati wilayah Demak yang jalanannya senantiasa dalam kondisi buruk, mobil itu tak dapat melaju kencang. Tiba-tiba dari dalam air kanal di pinggir jalan itu menyembul sesosok (untungnya!) laki-laki tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya. Dengan penuh percaya diri, laki-laki itu mendaki keatas tebing sembari menggenggam erat pusat rasa malunya —seolah-olah jika yang itu tertutup berarti seluruh bagian tubuh sisanya pun tak kelihatan.

Terang saja pemandangan tak senonoh itu menghujam penglihatan para kyai. Lumrah bila beliau-beliau terperanjat bukan kepalang.

“Astaghfirullah!” Kyai Mabrur berseru.

“Maa syaa-allaah!” Kyai Wahab.

“Laa ilaaha illallaah!” Kyai Tamam.

“Subhaanallaah!” Kyai Sahlan.

Dan Mbah Syahid?

“Al… ham… dulillaaaah…”

* * * * *

Selain merupakan dzikir yang dibiasakan, “alhamdulillah” bagi Mbah Syahid adalah kredo. Segala yang terjadi adalah kehendak dan karya Allah: “maa syaa-allaahu kaana wa maa lam yasya lam yakun”. Dan dalam setiap kehendak dan karya-Nya, hanya pujianlah yang patut bagi Allah. Selama saya mengenal Mbah Syahid —ingatan terjauh saya adalah ketika masih kanak-kanak antara 5-6 tahun diajak kakek saya berkunjung ke kediaman beliau dan saya mengejar-ngejar seekor menthog yang oleh Mbah Syahid kemudian dihadiahkan kepada saya— belum pernah saya mendengar beliau nyebut selain “alhamdulillah”.

Ada orang mengabarkan lahir anaknya,

“Alhamdulillah”.

Orang menceritakan laku sapinya,

“Alhamdulillah”.

Orang wadul sakit isterinya,

“Alhamdulillah”.

Orang meninggal bapaknya,

“Alhamdulillah”.

Seolah tak ada dzikir yang patut selain “alhamdulillah”.

Sejauh bentang ingatan saya, entah sejak kapan, Mbah Syahid dijuluki orang “Kyai Alhamdulillah”. Pesantrennya yang tanpa papan nama —dan memang tak pernah diberi nama— disebut-sebut orang “Pesantren Alhamdulillah”.

Hari ini, lima tahun yang lalu, tepat sebelas hari setelah meninggalnya Kyai Kholil Bisri, Mbah Syahid kembali kepada Kekasihnya. Lahumal faatihah….
Menjelang Muktamar NU ke-25, 1971, kiyai Wahab Hasbullah mengalami naza' setelah sakit keras beberapa lama. Beliau menyuruh Kiyai Sholeh Abdul Hamid, keponakan beliau, untuk mengumpulkan santri dan membacakan Yasin.

"Jangan berhenti baca Yasin sampai aku mengucapkan Syahadat", pesan Mbah Wahab. Semua yang hadir tak kuasa menahan air mata.

Bacaan Yasin laksana dengung kumpulan lebah segera memenuhi ruangan, sampai akhirnya Mbah Wahab memberi tanda. Bacaan terhenti. Ruangan senyap seketika.

"Asyhadu allaa ilaaha illallaah... wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah..."

Lalu senyap lagi. Tak ada suara. Ketegangan mencekam.

Tiba-tiba Mbah Wahab tersenyum sumringah,

"Nggak jadi!" kata beliau, "aku sudah ngomong-ngomong sama Malaikat Izro'il, nanti saja setelah Muktamar! Kalian semua bubar!"

Beberapa hari setelah Muktamar, Mbah Wahab Hasbullah wafat.

Lahul Faatihah.
“Quran dan Hadits itu bukan pasal-pasal KUHP!” kata Cak Nur, Prof. Dr. Nurcholish Madjid rahimahullah.

Pernyataan itu dilontarkan tahun 1990-an. Didepan ratusan mahasiswa UGM aktifis Jama’ah Salahuddin yang mencecarnya habis-habisan soal ide “pluralisme” dan “sekularisasi”, Cak Nur berusaha memperingatkan kecenderungan “telan mentah” –kecenderungan reduksionis ala Wahabi—dalam memahami nash-nash Quran dan hadits, yang semakin berkembang di kalangan para aktivis Islam. Mahasiswa-mahasiswa yang dipenuhi semangat jihad itu pada akhirnya hanya bisa terlongong-longong ketika Cak Nur mendemonstrasikan penguasaannya atas khazanah ilmu-ilmu Islam.

(Tahun 1990-an! Bayangkan, betapa sudah sejak amat lama Wahabi menginfiltrasi gerakan Islam di kampus-kampus!)

Tapi, karena kurangnya pengetahuan, banyak orang memang memiliki “imajinasi” yang keliru tentang Quran dan Hadits.

“Janganlah membayangkan Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan alat perekam di tangan merekam ucapan-ucapan yang kemudian menjadi Quran, lalu merekam lagi kemudian menjadi Hadits”, Kata Gus MUs.

Setiap ayat Quran mengemban eksistensi yang “satu paket” dengan asbabun nuzuul (sebab-sebab turun)-nya. Begitu juga setiap ucapan, tindakan dan diamnya Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam –yang kemudian tercatat sebagai hadits– terjadi karena asbaabul wuruud (sebab-sebab peristiwa) tertentu.

Memang, ada kaidah yang menyatakan bahwa: “al ‘amal bi ‘umuumil lafdh, laa bikhushuushish sabab”. Amal itu (dilaksanakan) dengan (berdasarkan pada pengertian) umum (dari) kalimat (pada Quran atau Hadits), tidak hanya (terkait) secara terbatas (khusus) dengan (peristiwa spesifik) yang menjadi sebab (turunnya ayat Quran atau terjadinya hadits). Tapi ‘umuumul lafdh (pengertian umum dari kalimat) dalam hal ini bukanlah sekedar makna lahiriah yang leterlijk (tekstual). Termasuk yang harus dipahami dari ‘umuumil lafdh itu adalah missi historis dari setiap nash Quran atau Hadits, berdasarkan analisis atas asbaabun nuzuul atau asbaabul wuruud, untuk kemudian didialogkan dengan konteks historis (temporer) saat suatu ‘amal hendak dilaksanakan.

Imam Ghozali (Asy Syaikh Al Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozzaaly Ath Thuusy) dalam kitabnya, “Asaasul Qiyaas”, menguraikan sepuluh model prosedural dari qiyas, mulai dari analogi yang paling sederhana, sampai dengan qiyas yang paling sulit, yaitu membuat keputusan berdasarkan “kebiasaan Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam dalam membuat keputusan” –aw kamaa qoola Asy Syaikh. Dibeberkanlah satu contoh kasus, yaitu ketetapan yang dibuat pada era kekhalifahan Sayyidina ‘Umar bin Al Khatthab radliyallaahu ‘anh untuk memberlakukan ta’zir 80 cambukan (jild) atas peminum arak. Ini adalah ketetapan yang sama sekali baru, karena (pada zamannya) Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam hanya memerintahkan ta’zir (untuk kasus yang sama, yaitu peminum arak) 40 pukulan dengan sandal atau ujung pakaian! Apakah Sayyidina ‘Umar membuat bid’ah dlolaalah?

Pada masa Sayyidina ‘Umar itu, perilaku minum arak memang kembali marak, yang ditengarai antara lain karena hukumannya dianggap ringan dan disepelekan. Maka Sayyidina ‘Umar pun mengundang para shahabat terkemuka untuk mendiskusikan solusi. Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karromallaahu wajhah-lah yang kemudian mengusulkan peningkatan hukuman menjadi 80 cambukan itu.

“Barangsiapa minum arak, maka mabuk. Barangsiapa mabuk, maka meracau. Barangsiapa meracau, maka membuat-buat (dusta)”, demikian ungkapan Sayyidina ‘Ali --aw kamaa qoola Sayyidunaa– yang menggambarkan cara berpikirnya.

Mengapa Sayyidina ‘Ali berani mengajukan usul yang begitu “inovatif”?

“Karena beliau amat memahami kebiasaan Kanjeng Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dalam membuat keputusan dan beliau mengikuti kebiasaan itu”, Imam Ghozali menyimpulkan.

Dan usulan Sayyidina ‘Ali itu pun diterima untuk dijadikan ketetapan hukum.

Ini adalah ilustrasi dramatis tentang bagaimana “as sunnah” dipahami sebagai tradisi, bukan sekedar teladan-teladan yang kasuistik, apalagi sebagai “klausul-klausul hukum” yang kaku. Hardi Cahyanta membuat ungkapan dalam bahasa Inggris yang bagus sekali terkait dengan ini: “What will The Prophet –Peace Be Upon Him– do in the situation?” (Apa yang sekira dilakukan oleh Kanjeng Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam [menghadapi suatu] keadaan?)

Pandangan saya, kata kuncinya adalah “missi historis dari nash“.

Mengikuti sholat berjama’ah di sebuah masjid, seorang berjubah cingkrang memepet-mepetkan kakinya agar menempel ke kaki Gus Mus. Karena kaki orang itu kelihatan kotor sekali dan Gus Mus curiga dia bergudhik, maka Gus Mus justru menjauhkan kakinya. Tapi orang itu ngotot dan terus mengejar-ngejar kaki Gus Mus!

Usai sholat, dia marah-marah, “Mengapa kamu tidak mau merapatkan barisan?”

“Memangnya kenapa?” Gus Mus berlagak o’on.

“Kalau sampai ada celah diantara kita, setan nyelip disitu!”

“Bagus dong!”

“Lho?”

“Kalau setan mau nyelip ikut jama’ah, berarti dia sudah insaf!”

2 komentar:

Unknown mengatakan...

izin shere kang

Fudlla mengatakan...

lanjut baca dibuku "ngopi di pesantren"

Posting Komentar